“Madilog” dan “Alam Pikiran Yunani”


Oleh: Herlianto A
Sumber: berdikarionline.com

Saya akan memulai dari pertanyaan untuk apa “Madilog” dan “Alam Pikiran Yunani” ditulis? Secara sederhana, saya ingin menjawab bahwa dua buku itu untuk menegaskan sekaligus memberikan pelajaran bahwa cara berpikir dibutuhkan dalam membangun suatu bangsa. Itulah sebabnya masing-masing buku itu tetap ditulis sekalipun sang penulis dalam keadaan yang susah payah.

“Madilog” atau panjangnya “Materialisme Dialektika dan Logika” ditulis (antara 15 Juli 1942-30 Maret 1943) dalam situasi tekanan penjajahan Jepang. Tan Malakan, sang penulis, menceritakan bahwa buku itu dikarang dalam situasi yang tidak ideal. “Pena merayap di atas kertas dekat Cililitan (Jakarta) di bawah sayapnya pesawat Jepang yang setiap hari mendengungkan kecerobohannya di atas pondok saya” demikian Tan mengisahkan gentingnya situasi saat itu.

Beberapa kali tentara Jepang menggeledah karya-karya Tan, untungnya huruf Madilog ditulis dengan huruf kecil, tidak terbaca, sehingga selamatlah dari perampasan. Dikerjakan selama delapan bulan dan tiga jam perhari, akhirnya karya itu selesai digarap. Namun begitu tak bisa serta merta dicetak, “Madilog” dibawa dipergi ke Banten lalu disembunyikan bersama para romusa yang menuju Jawa Tengah. Baru tiga tahun kemudian setelah Indonesia merdeka dapat diterbitkan dengan aman.


Kisah “Alam Pikiran Yunani” juga tak kalah menariknya, meski tak semencekam “Madilog”, namun memiliki sisi romantiknya. Buku itu ditulis saat M. Hatta diasingkan oleh penjajah Belanda ke Boven Digul pada tahun 1935. Digul adalah kawasan yang sering digambarkan mengerikan karena penuh buaya dan ancaman nyamuk malaria. Tak sedikit tawanan yang ditahan di situ meregang nyawa. Konon Hatta mengalami stres dengan keadaan itu. Dalam situasi ngeri itulah sang proklamator menulisnya dengan berbekal ingatan yang kuat untuk menyusun kembali ide-ide filosof Yunani.

Diceritakan, dikemudian hari “Alam Pikiran Yunani” menjadi mas kawin terindah yang diberikan Hatta pada sang istri di prosesi pernikahannya. Sesuatu yang mungkin tidak terlalu wajar waktu itu, tetapi menjadi peristiwa sejarah yang mengajarkan romantika dan kecintaan pada buku dan ilmu. 
    
Apa Istimewanya?

Jika dibaca saat ini, di mana referensi mengenai isi yang ada di dalam dua buku itu sudah melimpah baik dalam bentuk jurnal, artikel, dan buku hard copy atau e-book, mungkin saja ulasannya tidak kalah menarik dan terkesan biasa saja. Franz Magnis Suseno pernah mengulas “Madilog” dan menyatakan bahwa sebetulnya tidak ada yang istimewa dari buku itu. Karya itu tak lebih sebagaimana buku-buku pengantar logika lainnya yang banyak beredar. Begitu juga dengan “Alam Pikiran Yunani” tidak sedetail buku-buku lain yang menjelaskan tentang pemikiran Yunani macam karya Copleston, Bertrand Russell, Will Durant, atau juga Kees Berten.

Walaupun demikian, dua buku itu telah meletakkan pondasi bagaimana seharusnya kita berpikir dan menata pengetahuan. Mereka membangun track atau desain besar tentang pola pikir filosofis sekaligus ilmiah ditengah kegelapan berpikir bangsa saat itu. Inilah peran yang tidak bisa digantikan oleh buku-buku lainnya yang dikarang dengan secanggih apapun. Sedari awal, Tan Malaka dan M. Hatta menyadari betul sejarah bangsa ini dan kondisi Indonesia kala itu. Sehingga keduanya menulis buku yang dianggap cocok untuk mengawali kesadaran berpikir masyarakat.

Kita tahu Hatta adalah seorang ekonom yang tekun, bukan filososf, tetapi dia mafhum bahwa  cara berpikir filsafat sangat memberi sumbangsih bagi ketajaman analisis-analisisnya. Dan itulah yang dia dapatkan dari mempelajari pemikiran Yunani yang membentang dari Thales, Phytagoras, Herakleitus, Demokritus hingga Sokrates, Plato dan Aristoteles. Peradaban Yunani telah lebih dulu berpikir maju tentang sains, politik, etika, hingga metafisika.

Bahwa masyhurnya pengetahuan Islam di abad tengah tidak terlepas dari sumbangsih pemikiran Yunani yang kemudian dibaca secara kreatif oleh para pemikirnya yang merentang dari Al Khindi hingga Ibn Rusdy. Begitu pula dengan lahirnya pencerahan (renaisance) abab 15 tidak terlepas dari “intervensi” Yunani yang diperoleh Barat via peradaban Islam. Tetapi bahwa kemudian Yunani juga diawali oleh peradaban lainnya, tentu menjadi diskusi di arena lain.

Inspirasi seperti yang didapatkan peradaban Islam dan Eropa dari Yunani itulah yang diharapkan Hatta dapat terjadi di peradaban nusantara. Karena apapun alasannya, kebesaran suatau bangsa tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya.

Hal yang sama juga ditangkap Tan Malaka. “Madilog” diharapkan menjadi “persinggahan” di tengah panasnya ladang luas bernama klenik dan mistik yang terlalu lama menyandra kesadaran kritis penduduk pribumi. Menjadi oase di padang pasir pembodohan kolonialis yang tak berprikemanusiaan. Tan mengerti bahwa berpikir materialyang melihat setiap peristiwa dapat ditelusuri sebab-sebabnya, dan bukan takdir semestaadalah upaya untuk terbebas dari belenggu kesadaran semu dan mental inlander. Juga melalui perangkat logika dan nalar dialektiknya yang dipaparkan, Tan ingin mengajak kita semua untuk berpikir teratur dan sistematis.

Semangat berfilsafat juga menjadi harapan Tan sebagaimana juga Hatta. Meski berbeda dari Hatta yang beranjak dari Yunani, Tan bersandar pada Marxis, namun keduanya berada dalam spirit yang sama yaitu membangun tradisi ilmiah dalam bermasyarakat. Bahkan lebih jauh dari itu, sebagaimana Marx, pengetahuan saintifik yang didapat tidak sekedar dimaksudkan sebagai interpretasi atas dunia melainkan sebagai tekat untuk mengubahnya, kesadaran mestilah emansipatif. Dalam bahasa Althusser, filsafat sebagai senjata revolusioner.

Begitulah istimewanya dua karya itu. Sebagian dari kita tak sedikit yang masih sangat antusias  membaca karya-karya tersebut. Toko-toko buku off line dan online masih meyediakannya, termasuk yang bajakan. Dari sisi isi bisa jadi tersaingi oleh buku-buku yang terbit kemudian hari, tetapi semangat saintifik dan meterialnya akan tetap selalu kontekstual untuk dibaca setidaknya hingga di hari ini. Lebih-lebih kesadaran bernalar logis masih belum menjadi tradisi yang mapan hingga di usia Inonesia ke 74 tahun ini.  

"
"