Oleh: Herlianto A
Sumber: belajar.kemedikbud.go.id |
Masyarakat Bajo terbilang satu etnis yang unik di
Indonesia. Pasalnya, etnis ini lebih banyak menghabiskan hidupnya berada di
laut. Meraka menyebar di pesisir kawasan maritim Indonesia, bahkan hingga ke
kawasan Asia tenggara lainnya seperti Myanmar dan Thailand. Karena itu,
masyarakat Bajo sering disebut “Orang Laut”. Biasanya tempat persinggahannya
disebut Labuan Bajo. Meskipun, masyarakat Bajo lebih sering berada di laut,
namun bukan berarti meraka tidak butuh darat.
Mareka masih turun ke darat terutama untuk memenuhi
kebutuhannnya sehari-hari, misalnya untuk menjual hasil tangkapan ikan atau
untuk sekedar ngambil air tawar untuk diminum. Bahkan di beberapa tempat orang
Bajo sudah banyak yang menetap di darat seperti di daerah Sulawesi Tenggara dan
Nusa Tenggara Timur. Mereka hidup berkelompok tak jauh dari pesisir pantai.
Peringgungan dengan darat inilah yang membuat kehidupan sosial budaya Bajo juga
berubah.
Menariknya, meskipun mereka sering berada di laut,
masyarakat Bajo masih memiliki tradisi sastra lisan untuk menjelaskan atau
merepresentasikan nilai-nilai ke-Bajoannya. Seperti yang diteliti oleh I.B.
Darmasuta (1994) berjudul Pitoto’ si Muhamma’. Dongeng ini yang
selanjutnya menjadi satu bahan kajian analisis mitologi struktural yang
dilakukan oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam buku Strukturali Levi
Strauss: Mitos dan Karya Sastra. Sepertinya, kisah dogeng ini memiliki alur
yang cukup panjang, tetapi dibagi
dalam beberapa ceriteme yaitu sebanyak 34. Pembagian ini persis seperti
cara Levi Strauss dalam menganalisis mitologi menjadi miteme-miteme (mytheme),
namun karena ini adalah cerita maka menjadi ceriteme.
Kisah Singkat
Secara singkat, Pitoto’ si Muhamma’
menceritakan pemuda Bajo dalam menjalani hidupnya. Ada tiga aktor yang diungkap
di dalamnya yaitu Muhamma’, Daeng Manjakari, dan Hajira. Dua sosok pertama
merupakan pemuda jagoan dari kampungnya masing-masing, sementara Hajira adalah
gadis Bajo yang menjadi rebutan kedua pemuda tersebut. Dikisahkan bahwa kedua
pemuda menyukai semparaga di daerahnya pemuda-pemuda lainnya, namun sepertinya
Manjakari lebih diterima di kalangan
muda ketimbang Muhamma’. Dalam satu kesempatan, Manjakari dipercaya untuk
mengantarkan Hajira yang baru sembuh dari sakitnya menuju sumur Toraja untuk
menuntaskan nazarnya. Hajiara diantarkan oleh Manjakari naik perahu bersama
dengan beberapa pengawal lainnya.
Selama perjalanan laut, Manjakari menunjukkan
kemampuannya menaklukkan gelombang dan laut. Dia begitu piawai mengendalikan
perahu sehingga dapat melaju dan sampai ke tujuannya. Melihat kemampuan yang
luar biasa ini, Hajira yang merupakan pacar dari Muhamma’ jatuh cinta padanya. Rasa
jatuh cinta ini misalnya diungkapkan dalam cerita itu dengan pernyataan bahwa
“dia (Manjakari) layak mengiris paha putihnya dan memegang dua delima satu tangkai
miliknya”.
Setelah selesai nazarnya di sumur Toraja, Manjari
dan Hajira kembali pulang ke kampungnya denga perahu yang sama. Setelah tiba,
Manjakari menuntun tangan Hajira. Nah pada saat itulah si Muhamma’ melihatnya.
Dia lalu merasa seolah ada sembilu yang mengiris-ngiris hatinya, terasa pedih
oleh api cemburu. Sebagai orang Bajo, dia merasa terhina dan ingin menebus
segala kehinaan itu. Prinsipnya adalah “lebih baik putih tulang dari pada putih
mata”, artinya lebih baik mati ketimbang terbebani rasa malu.
Antara Manjakari dan Muhamma’ kemudian saling
bertemu dan terlibat perdebatan tentang prinsip-prinsip ke-Bajoan mengingat
Hajira adalah pacar Muhamma’. Mengapa Manjakari begitu lancang membawanya ke
pulau keramat. Manjakari menjelaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah karena
ada perintah dari ibu H. Tetapi Muhamma’ menolak itu semua dan sudah terlanjur
malu. Muhamma’ lalu mendatangi kepala desa dan penghulu untuk meminta izin
mengadakan pertarungan dengan Manjakari. Muhamma’ berlari ke pantai di mana ada
lobang sebesar sumur yang telah dibuatnya sendiri sebelumnya. Kedua pemuda
jagoan itu kemudian masuk secara bersama-sama untuk menuntaskan masalahnya secara
terhormat.
Di dalam antara Manjakari dan Muhamma’ saling
serang, tetapi pada ronde pertama keduanya sama-sama kuat. Senjata tajam yang
dihujamkan ke tubuh Manjakari maupun Muhamma’ sama-sama terasa tumpul tak bisa
melukainya. Pada saat pertarungan itu berlangsung dahsyat, datanglah Hajira.
Dia diminta oleh Muhamma’ untuk turun ke lobang menghapus keringat Manjakari
dengan rambutnya karena itulah hari terakhir bertemu. Tetapi ingin dihapus
keringatnya, Manjakari menepis tangan Hajira.
Akhirnya Muhamma’ meminta sehelai rambut semangat
pada Hajira. Setelah mendapat rambut itu, dia menyerang Manjakari lagi. Alhasil
keris yang dihujamkan itu berhasil menembus tubuh Manjakari. Melihat kemenangan
ini, Hajira merasa bahwa pemuda yang hebat itu adalah Muhamma’ dan yang layak
memiliki dirinya. Pasca kemenangan itu, Muhamma’ menuntun tangan Hajira untuk
pulang, tetapi akhir cerita Muhamma’ memilih pergi untuk meninggalkan desa
Mateknek dalam jangka waktu yang tak pasti.
Cermin Realitas Masyarakat Bajo
Dari kisah ini dapat dipahami bagaimana sebetulnya
realitas budaya dan sosial masyatakat Bajo. Sebagaimana dinyatakan oleh Stauss
bahwa sebetulnya mitos dan dongeng adalah cermin dari realitas suatu masyarakat
itu sendiri. Maka dalam analisis Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra ditemukan
beberapa poin yang menjadi realitas orang Bajo. Pertama, Manjakari dan Muhamma’
menggambarkan dua kategori sosial orang Bajo yaitu orang sama dan orang bagai.
Orang sama adalah orang-orang Bajo yang menggunakan bahasa yang sama, sementara
orang bagai adalah orang luar.
Nah, Manjakari merepresentasikan orang Bajo yang
sudah mengenal budaya luar yang disebut manderek (mendarat). Mereka yang
sudah tinggal di darat dan mengenal tradisi orang luar sehingga dia lebih
diterima oleh masyarakat lain. Sementara Muhamma’ merepresentasikan orang Bajo
yang mengenal tradisi orang bagai, yang biasanya tinggal dilaut dan disebut
dengan mandelauk (melaut).
Poin kedua, menjelaskan bagaimana orang Bajo dapat
menaklukkan laut sebagaimana ditunjukkan Manjakari mengarungi laut. Tetapi juga
dapat dipahami bahwa betapai orang Bajo juga butuh terhadap daratan, karena
nyatanya Hajira diantarkan ke sumur Toraja yang berada di darat sebagai nazar
setelah sembuh dari sakitnya. Ini juga menunjukkan ketergantungan orang Bajo
yang dilaut tehadap air tawar yang ada di darat. Poin ketiga, adalah jatuh
cintanya Hajira pada Manjakari menggambarkan bahwa relasi perkawinan Bajo
cenderung terjadi dengan orang luar. Ini juga menegaskan bahwa betapa
gadis-gadis Bajo menginginkan untuk berkeuarga dengan orang-orang darat.
Poin keempat, perselisihan antara Manjakari dan Muhamma’
dalam sumur saat menjelang bertarungan. Rupanya sumur menjadi suatu yang
keramat. Walau pada akhirnya yang membuat Manjakari terbutuh bukan karena
sumurnya tetapi karena bantuan Hajira pada Muhamma’. Poin kelima, yang menarik
adalah kematian Manjakari setelah menolak bantuan dari Hajira untuk diusap
peluhnya. Rupanya dalam tradisi Bajo seorang saudara memiliki kewajiban untuk
membantu saudaranya saat berada dalam kesulitan.
Dan apabila bantuan yang ditawarkan pada sudaranya
itu ditolak maka dianggap tidak tahu aturan dan mendapat hukuman yang keras.
Dan Manjakari mempermalukan Hajira dengan menolak bantuannya. Berbeda dengan
Muhamma’ yang menerima dengan baik bantuan sehelai rambut dari Hajira yang
kemudian membuatnya menang. Selain itu, dapat dibaca bahwa Muhamma’
dipermalukan oleh Manjakari karena mengganggu Hajira. Maka secara moral,
siapapun yang dipermalukan berhak menuntut balas pada yang membuatnya malu, dan
itulah yang dilakukan oleh Muhamma’.
Poin keenam, begitu Muhamma’ memenangkan
pertarungan dan Hajira jatuh cinta padanya. Padahal sebelumnya jatuh cinta pada
Manjakari. Bagian ini menjelaskan bahwa betapa orang Bajo sebetulnya ingin
hidup berada di darat. Tetapi rupanya kehidupan darat tidak sebaik dan sehebat
yang dibayangkan, karena itu Hajiara ingin kembali ke laut hidup bersama
Muhamma’. Namun di sisi lainorang Bajo masih membutuhkan darat. Nah, di sinilah
orang Bajo seperti berada dipersimpangan antara hidup di darat dan laut.
Poin ketujuh, bagitu Muhamma’ menang atas
Manjakari, dan menggandeng pulang Hajira namun dia memilih meningglkan Hajira
dengan melepaskan gandengannya. Dia memilih pergi mengelana dalam waktu yang
tidak ditentukan. Kisah ini dapat ditafsirkan bahwa sebetulnya orang Bajo
membanggakan kehidupan laut yang sudah dijalani dari generasi ke generasi.
Namun pada saat yang sama, mereka tidak bisa lepas dari darat karena sejumlah
kebutuhan hidupnya hanya dapat dipenuhi dari darat. Maka sebetulnya bagian
akhir ini menunjukkan bahwa orang Bajo tidak dapat dengan tegas tegas menjawab
mau hidup di darat atau di laut, tetapi yang pasti darat dan laut sama-sama
dibutuhkan.
Dengan demikian, kajian strukturalis terhadap
mitologi orang Bajo yang dilakukan oleh Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra ini bisa
dibilang pioner. Pasalnya, kajian terhadap mitos di Indonesia sejauh ini belum
menjadi satu tradisi intelektual humaniora yang mengakar meskipun dalam tradisi
akademik di Barat sudah berkembang pesat, apalagi yang menggunakan pendekatan
strukturalisme. Sejauh ini kajian mitos yang banyak dilakukan oleh pegiat
pengetahuan humaniora Indonesia adalah yang terasa bermanfaat langsung bagi
kegiatan pembangunan dan pembinaan kepribadian bangsa saja.
0 Comments