Merdeka dari Pragmatisme, Mungkinkah?

Oleh: Herlianto. A
William James dan C. S. Peierce. (Foto: Istimewa)

Mazhabkepanjen.com
- Jika merdeka dimaknai sebagai kebebasan atau keadaan deontologis, yaitu situasi ketiadaan prasyarat apapun yang membuatnya tidak independen, maka mungkinkah kita juga dapat merdeka dari pragmatisme (efek kemanfaatan) yang terlanjur membaluri keseluruhan kegiatan praktis kehidupan manusia. 

Bisakah manusia  hidup tanpa tendensi—pertimbangan kemanfaatan atau ketakbermanfaatan—apapun dalam mengarungi hari-harinya di bumi bersama terik matahari? Pendeknya, mungkinkah tindakan manusia tanpa kepentingan sama sekali?

Beberapa waktu lalu, jagad negeri dibuat terbahak—sebagian lainnya gerah dan misuh—oleh Ustad Syamsuddin. Dia bilang orang yang menjalani syariat Allah akan pesta seks di syurga. Pernyataan, mohon maaf, “bok*p” ini merupakan abstraksi dari sekian pahaman yang dia tangkap soal surga.

Dalam majelis memang sering dikisahkan betapa nikmatnya berada di syurga, sungai menjadi susu dan madu. Tinggal pilih jenis bidadari untuk diajak “olahraga pinggul” di rajang.

Sementara itu neraka begitu mengerikan dan menakutkan, saya tak bisa menarasikan lantaran belum pernah PP (Pergi-Pulang) Bumi-Surga. Mungkin, bisa dicari di hadist atau ayat-ayat yang menjelaskan soal itu. 

Walaupun saya juga ragu, jangan-jangan penjelasan di Alquran soal neraka dan syurga adalah metaforis bukan yang sesungguhnya. Sehingga kurang tepat memaknainya sebagaimana ustad Syamsuddin, khususnya soal “goyang pinggul”.

Metaforis atau tidaknya bukanlah soal di tulisan ini, soalnya adalah rupanya dalam beragama—dimana manusia diminta untuk ikhlas menjalankannya—tak sedikit yang pragmatis, mengharap dampak-dampak tertentu yang dapat dirasakan sekalipun bukan hari ini. 

Mungkin itu sebabnya, kaum sufi menempuh jalan lain: jalan cinta, dimana tak lagi peduli soal-soal surga-neraka, obsesinya adalah cinta kasih Tuhan. Namun, tepat pada “mengharap cinta kasih Tuhan” merupaka dampak yang diinginkan. Dengan begitu pragmatis. Jika dalam keberagamaan saja manusia masih terbelit oleh pragmatisme, lalu bagaimana dengan kehidupan kesehariannya? Kitakah daulah pragmatis itu?

Nalar Pragmatis

Saya sudah menebak, pembaca sekalian tak sabar untuk menohok saya “apa pragmatisme itu?” Etimologi pragmatisme sendiri adalah pragma (Yunani) yang berarti tindakan atau perbuatan. Tulisan akan mencoba memulai dari yang disebut-sebut pendiri pragmatisme Chasles S. Peirce (1839-1914). Dia merupakan peletak dasar dari cara pandang ini lewat tulisan fenomenalnya How To Make Our Ideas Clear. Dalam tulisan yang terbit pada 1897 itu Peirce memaparkan kriteria benar dalam frame kritiknya terhadap Descartes. 

Bagi Descartes, kriteria benar mencakup dua hal: clear (jelas) dan distinct (terpilah). Misalnya, pengetahuan kita tentang “buku filsafat”. Untuk disebut benar, pengetahuan ini harus jelas dan dapat dibedakan dengan pengetahuan (benda) yang lain. Clear berarti buku itu betul-betul ada dapat diverifikasi paling tidak lewat indera dan distinct berarti dapat dibedakan dengan buku sosiologi, buku psikologi, dst.

Namun sayangnya, papar Peirce, cara-cara demikian hanya digunakan oleh para logikawan yang hanya bergerilya diwilayah ekspresi, termasuk Descartes. Padahal kebenaran sesuatu bergantung pada dampak-dampak yang diberikan oleh objek dan dirasakan oleh subjek. Artinya, distinct yang secara ekspresif ala Cartesian tidak betul-betul membuat dua hal (buku filsafat dan psikologi) berbeda.

Kepastian perbedaan dua hal tersebut sejauh memiliki dampak praktis yang berbeda pada subjek. Persis seperti kita saat menekan dua tombol berbeda pada alat musik keyboard. Dua tombol itu betul-betul berbeda tidak saja pada penampakannya tetapi apabila menghasilkan bunyi yang berbeda pula. Jika bunyinya sama apa yang berbeda dari dua tombol itu. Jadi kepastian distinct ada pada dampaknya. Peirce menulis:

Perbedaan keyakinan (kebenaran) dibedakan oleh perbedaan mode tindakan yang memberikan dampak. Jika keyakinan-keyakinan itu tidak membedakan hal ini, jika menimbulkan keraguan yang sama dengan melakukan pola tindakan yang sama, maka berarti  tidak ada perbedaan dalam menyadari keyakinan-keyakinan itu yang bisa membuatnya berbeda, ini seperti memainkan lagu dalam kunci yang berbeda berarti memainkan lagu yang berbeda. Distingsi imajinari sering digambarkan antara kepercayaan yang berbeda hanya dengan mode ekspresinya.[1]

Dengan demikian, maka lanjut Peirce kebenaran bukan hanya: 1) sesuatu yang disadari sebagai jelas, atau, 2) sesuatu yang mengatasi keraguan, tetapi juga, 3) termasuk pembentukan mode tindakan-tindakan, atau pendeknya, kebiasaan (habit). Keseluruhan fungsi dari pikiran adalah membentuk kebiasaan-kebiasaan tindakan yang sifatnya praktis dan berdaya guna, di situlah benar dan salah dapat dievaluasi.

Dalam bacaan John E. Smith di Semangat Filsafat Amerika, dampak yang dimaksud Peirce ini sangat empiris, tetapi bukan tradisionalis yang berkutat pada hasil indera semata, melainkan “efek-efek” apa yang diberikan dari tangkapan indera itu. 

Tidak cukup pada bagaimana indera menyerap objek-objeknya, tetapi setelah objek-objek itu diserap dampak apa yang terjadi.[2] Sampai di sini Peirce membatasi hal-hal yang berdampak itu pada yang nyata (tidak mistis), di luar itu sudah pasti dianggap tak akan memberikan dampak apapun bagi kehidupan ini.    

Ajaran kepraktisan ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh William James (1842-1910). Dia menulis Pragmatism (A New Name for Some Old Ways of Thinking). Di bagian kuliah II, James menjelaskan makna pragmatisme secara meyakinkan. Dia memulai pembahasannya dalam Pragmatism dengan perbincangan soal keraguan metafisis yang akut. 

Dia bercerita seekor tupai yang ada di batang sebuah pohon besar. Sementara dihadapan batang pohon itu berdiri seorang manusia—anggap saja namanya Lek Warsito—yang mencoba melihat langsung tupai dengan bergerak mengitari pohon untuk mendekati si tupai.

Tetapi saat Warsito itu memulai mengitarinya, si tupai turut berputar menghindari dari orang itu. Semakin cepat Warsito itu berputar untuk menjangkau tupai, si tupai tak kalah cepatnya menghindar, sehingga dia tak melihat sedikitpun sang tupai. 

Pengejaran ini dilakukan berhari-hari, berbulan-bulan, hingga berabad-abad. Hingga James datang dan menyatakan bahwa kerjaan Warsito itu sia-sia. James melontarkan pertanyaan skeptis: “Hei Warsito, apakah kau akan terus berputar mencari tupai, sampai kapan rambutmu dah uban?”

Menurut James pencaria makna metafisis sama seperti terus-menerus mengitari pohon untuk mencari tupai yang juga terus menerus menghindar, sia-sia.  Sayangnya, jelas James, banyak orang yang “berkepala batu” untuk memaksa mengitari pohon, sehingga caranya menjadi begitu usang. 

Bagi James orang-orang Skolastik melakukan pengejaran tupai ini, jika hari ini seperti Warsito, mada Anda skolasti, gumam James. Maka, kemudian jawaban apa yang benar terhadap pertanyaan di atas?

Bagi James jawaban yang benar adalah makna apa yang secara praktis kita berikan terhadap berputar untuk menemukan tupai itu. Jika secara praktis kita memaknai hanya ingin berputar saja mengelilingi dan merasa senang disitu tentu dibenarkan mengelilingi pohon. 

Tetapi apabila tujuan kita adalah berhadap-hadapan melihat si tupai, tentu kegiatan ini muspra, yang melakukan tentulah rugi. Jadi, di sini benar dan salahnya mengitari pohon bergantung pada bagaimana kita mempersepsi “mengitari” pohon itu sendiri. Tentu yang dimaksud James bukanlah relativisme justifikasi, melainkan praktikal justifikasi. Dan inilah yang disebut metode pargamtis. Dia menegaskan:

Metode pragmatis dalam kasus ini adalah berupaya menginterpretasi setiap gagasan dengan menyusuri konsekuensi-konsekuensi pragtisnya masing-masing. Secara praktis perbedaan apa yang akan terjadi pada setiap orang jika satu gagasan benar ketimbang gagasan yang lain? Jika tidak ada perbedaan praktis apapun yang bisa ditelusuri, lalu makna praktis alternatifnya juga sama, maka semua perdebatan (perbedaan) terhenti. Seberapapun serius perdebatan itu, kita harus bisa menunjukkan perbedaan-perbedaan praktis yang harus mengikuti satu sisi atau sisi yang laing yang disebut benar.[3]

Dengan begitu, seperti Peirce, James membenarka bahwa tindakanlah yang mengatur keyakinan kita, bukan surga dan neraka. Jadi untuk memastikan suatu gagasan dikatakan memiliki kriteria benar adalah sejauh apa gagasan itu menghasilkan produk untuk kita. Sehingga prinsip dasar dari pragmatisme, sebagaimana James rumuskan sebagai berikut:

Untuk memperoleh kejelasan yang sempurna (benar) dalam pikiran kita tentang suatu objek, berarti, kita perlu menemukan efek apa yang dapat dikonsepsi secara praktis dari objek tersebut. Sensasi apa yang kita harapkan darinya, dan reaksi apa yang harus kita siapkan. Konsepsi kita tentang efek ini, baik yang terdekat atau jauh, adalah untuk keseluruhan konsepsi kita tentang objek itu, sejauh konsepsi tersebut memiliki signifikansi posistif bagi kita.[4] 

Tugas pembukatian kebenaran tindakan adalah tugas untuk menunjukkan konsekuensi praktis dari suatu tindakan. Pragmatisme melakukan suatu pembalikan radikal terhadap apa yang dilakukan oleh filsuf sejauh ini—yang mengawang-ngawang di langit metafisi—tentang kebenaran. 

Pragmatisme menggeser hal-hal yang abstrak, sebatas solusi verbal, sebatas apriori, prinsip-prinsip pasti, dan sistem tertutup yang berpotensi absolutis menjadi hal konkret, bersandar pada fakta-fakta, diikuti tindakan, dan kekuatan. Dengan kata lain untuk memastikan konsekuensi praktis positif perlu diamati secara empiris.[5]

Lalu, bagaimana hubungannya orang-orang sejenis Syamsuddin di atas. Tentu saja nalar mereka pragmatis dalam beragama. Syariat dimaknai sebatas memperoleh goyangan-goyangan untuk orgasme dan menempatkan Tuhan seperti mucikari, Nauzubillah

Golongan ini tidak bisa merdeka dari pragmatisme. Lalu masih mungkinkah masih ada merdeka dari pragmatisme? Mungkin saja, sejauh membiarkan pragmatisme seperti yang dipahami para filsuf Amerika itu, dan tidak menggeser ke ke hal yang metafisis.

Sufi saya kira juga cukup sukses tidak terjebak dalam pragmatisme dalam arti di atas. Merekadalam hal kesufiannyasama sekali tak peduli dampak-dampak empiris dari tindakannya. Namun begitu, tidak bisa manusia terbebas dari pragmatisme sama sekali, karena masih butuh makan, minum, dan hal biologis lainnya justru untuk melanjutkan kesufiannya. Tetapi, masih ada tindakan tertentu yang itu sama sekali tidak mengandaikan efek-efek empiri-material. Dengan kata lain, masih ada tindakan yang merdeka dari pragmatisme.



[1] The essence of belief is the establishment of a habit; and different beliefs are distinguished by the different modes of action to which they give rise. If beliefs do not differ in this respect, if they appease the same doubt by producing the same rule of action, then no mere differences in the manner of consciousness of them can make them different beliefs, any more than playing a tune in different keys is playing different tunes. Imaginary distinctions are often drawn between beliefs which differ only in their mode of expression. Peirce. How To Mak Our Ideas Clear. Lembar ke 6.
[2] John E. Smith. Semangat Filsafat Amerika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.1995., hal 7
[3] The pragmatic method in such cases is to try to interpret each notion by tracing its respective practical consequences. What difference would it practically make to anyone if this notion rather than that notion were true? If no practical difference whatever can be traced, then the alternatives mean practically the same thing, and all dispute is idle. Whenever a dispute is serious, we ought to be able to show some practical difference that must follow from one side or the other's being right. Dalam Pragmatism.
[4] To attain perfect clearness in our thoughts of an object, then, we need only consider what conceivable effects of a practical kind the object may involve--what sensations we are to expect from it, and what reactions we must prepare. Our conception of these effects, whether immediate or remote, is then for us the whole of our conception of the object, so far as that conception has positive significance at all. Dalam Pragmatism
[5] William James. Pragmatism., hal 19

Post a Comment

0 Comments