Mazhabkepanjen.com - Setelah sekian lama modernitas—beserta perangkat
filosofis dan tatanan kebudayaannya—yang
dikendalikan oleh Barat (Eropa) menguasai panggung dunia, riak-riak
kejemuan akan abad ini terus bermunculan. Bahkan tokoh-tokoh Barat itu sendiri
yang belakangan mengidentifikasi diri sebagai pemikir kontemporer merombak narasi-narasi besar (grand
narations) yang dipegang teguh kaum modernis, yang alih-alih mencerahkan
justru terjebak pada mitosisasi dan ideologisasi diri.
Misalnya, di wilayah filsafat
kesadaran Cartesian dibuat “babak belur” lantaran terlalu subjektif. Adalah
Martin Heidegger yang menggebuk Cartesian habis-habisan, bahwa mereka
(cartesian) dengan semboyan cogito ergo sum adalah orang-orang yang lupa
diri akan Ada (Dasein). Bahwa bukan diri yang sadar (cogito) yang
membuat diri itu ada, tetapi adanya (sum) dirilah yang memungkinkan
berpikir.
Mazhab Franfurt, J. Paul Sartre, dan sederet filsuf kontemporer
lainnya turut memberi gebukan yang tak kalah pedihnya pada modernitas. Kejemuan
itu pada akhirnya membuka ruang wacana hikmah dan tradisi intelektual Timur
bangkit, lahir tokoh Sindolog (ahli Cina), Indolog (ahli India), Islamolog
(ahli Islam).
Dalam suasana gejolak pemikiran
demikian Hassan Hanafi hadir membawa spirit yang cukup radikal. Dia
mengajukan gagasan besar untuk mengantisipasi meluas dan superioritasnya
tradisi Barat atas tradisi non Barat. Proyek ini disebut oksidentalisme: studi
tentang Barat dengan cara pandang Timur (Islam). Dalam buku Oksidentalisme:
Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, pemikir asal Mesir itu mengulas panjang
lebar apa itu oksidentalisme dan bagaimana merealisasikannya. Tulisan ini akan banyak mengacu pada buku
tersebut.
Dari The Other Ke Ego
Sejatinya, bagi Hanafi, Barat
mencapai kematangannya melalui perluasan imperialisme dan kolonialisasi
besar-besaran terhadap timur yang puncaknya pada abad 18-19. Narasi-narasi
tentang peradaban Timur (Islam) dikoleksi sedemikian rupa lalu dijadikan bahan
kajian. Dalam pengkajian ini orientalis memposisikan diri sebagai ego
(subjek) dan Timur sebagai the other (objek). Dalam relasi ego−the other ini, Timur
ditempatkan sebagai yang terbelakang, perlu dicerahkan, diajari, diubah
prilakuknya, dan dirombak tradisi bahkan peradabannya. Pendeknya, orientalis
pemegang standar kebenaran di hampir semua aspek.
Dominasi Barat ini sangat luas
sekali cakupannya, mulai dari filsafat dan segala bentuk pemikiran, literatur
(sastra), sejarah, ilmu pengetahuan, teknologi, musik, agama, hingga soal ketuhanan.
Di segala aspek itulah Timur inferior, karena itu agar setara kehidupan Timur
perlu dicekoki ajaran mereka: saintisme, historisisme, rasialisme dan posivisme—yang sebetulnya
berkontradiksi dengan hikmah-hikmah timur.
Alhasil, dominasi standar
kebenaran ini sangat berpengaruh dan menyengsarakan terhadap kehidupan
masyarakat Timur. Seorang dosen ingin menjadi profesor beberapa artikelnya
harus terindeks Scoopus. Nah, proyek oksidentalisme ini hadir untuk
membalikkan semua kedaan ini, membalik Timur dari sebagai the other
menjadi ego. Hanafi menulis:
Tugas oksidentalisme adalah mengurai
inferioritas sejarah hubungan ego dengan the other,
menumbangkankan superioritas the other Barat dengan menjadikannya
sebagai objek yang dikaji dan melenyapkan inferioritas kompleks ego
dengan menjadikannya subjek pengkaji. Dengan kata lain menghilangkan rasa tak
percaya diri di hadapan Barat soal bahasa, kebudayaan, ilmu pengetahuan,
madzhab, teori, dan pendapat.[1]
Kutipan ini menempatkan gagasan
besar oksidentalisme untuk mengembalikan kekhasan peradaban Timur. Bahwa dalam
beberapa segi cara hidup atau pandangan hidup Timur lebih tepat bagi masyarakat
Timur itu sendiri. Justru mengadopsi Barat membuat kedirian (identitas diri) Timur
menjadi tercerabut dari habitat sosialnya. Dengan kata lain dalam beberapa
bidang Timur memiliki kekhasannya, mulai soal sejarah, pranata sosial, hingga
soal filsafat.
Universalisasi Barat
Salah satu kekuatan Barat adalah
mampu melakukan universalisasi standar dirinya terhadap semua yang non Barat. Apa-apa
yang dilakukan no Barat, secara universal langsung diklaim produk Barat. Orang-orang
Timur seperti mati kreativitas dan tak punya daya upaya yang dilakukan hanya
skedar menguti Eropa. Soal universalisasi ini Hanafi sepertinya cukup geram,
dia menulis:
Setiap seruan rasionalisme dan
pengguna akal akan diklaim sebagai Cartesian; setiap seruan kebebasan perkataan
dan perbuatan akan dibilang Liberalisme; setiap seruan sosialisme dan keadilan
sosial tentu disebut Marxisme; setiap ajakan untuk membanggakan dan meyakini
wujudnya adalah kulit Eksistensialisme; setiap tuntutan untuk melakukan pekerjaan
dan mengejar keuntungan adalah Pragmatisme; dan setiap analisa pengalaman hidup
dan deskripsi fenomena kesadaran adalah Fenomenologi yang diadopsi. [……..]
Sehingga muncul kesan kita ditakdirkan untuk selalu mengutip dan tak mampu
berkreasi.[2]
Dalam konteks periodeisasi
sejarah misalnya Barat berhasil universalitas sejarah dirinya. Periode abad
tengah atau zaman kegelapan (dark age) yang membentang antara 5 M hingga
14 M diuniversalkan sedemikian rupa, sehingga seakan-akan pada era itu semua
sejarah dunia dalam kegelapan. Padahal setiap peradaban dan bangsa memiliki
periode sejarahnya masing-masing yang bisa jadi berbeda dengan yang terjadi di
Eropa.
Pada tahun yang sama terjadi kegelapan di Barat belum tentu di Timur
juga terjadi kegelapan. Di sini Hanafi menunjukkan bahwa era kegelapan di Barat
itu sebetulnya era keemasan dalam peradaban Islam. Dimana Islam berhasil
melakukan ekspansi daerah hingga ke kekawasan Persia, Romawi, hingga ke
Makedonia. Di wilayah pengetahuan juga jaya dengan lahirnya pemikir-pemikir
muslim.
Kemudian, jika ingin jujur dalam
sejarah sebenarnya peradaban Timur hadir jauh lebih tua ketimbang Barat yang baru
dimulai sejak era Yunani abad ke 6 SM. Peradaban Timur: Babilonia, Mesri Kuno,
Cina, dan Persia sudah membentang sejak 2000 SM hingga kini. Bisa jadi peradaban Timur itu adalah sumber pengetahuan
dan kemajuan bagi Barat namun tidak mau diungkap secara terus terang.
Dominasi penulisan sejarah yang
dikuasai Barat membuat kehidupan umat manusia baru dimulai sejak Yunani.
Padahal, demikian Hanafi, tidak mungkin suatu peradaban besar dimulai dari nol.
Pastilah sebelumnya ada peradaban yang mendahului dan ada sumber-sumber
pengetahuan sebelumnya. Sejarah kehidupan bukanlah sejarah yang terpotong
melainkan linear dan panjang. Karena itu dia memilah sumber pengetahuan Barat
menjadi dua: yang terekspos yaitu Yunani dan yang tidak terekspos yaitu Mesir,
Cina, Persia dst.
Sketsa Oksidentalisme
Lalu bagaimana memulai proyek
oksidentalisme ini? Secara garis besar Hanafi telah memulainya dengan menyusun layout
pembaharuan, yang menyangkut “Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama”, “Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat” dan “Sikap Kita Terhadap Realitas” dan “Sikap Kita
Terhadap Tradisi Barat”. Konsep ini telah dia uraikan dalam beberapa bukunya
yang tak akan dibahas secara satu-persatu dalam tulisan pendek ini.
Hanafi dalam buku Oksidentalisme
membuat semacam preskripsi bagaimana secara teknis langkah oksidentalisme ini
dapat dimulai. Uniknya, dalam tahapan ini justru dimulai dari membaca Barat,
atau tepatnya menjadikan Barat sebagai cermin Timur. Proyek perlawanan
peradaban ini dapat dilakukan dalam beberapa fase. Di antaranya: pertama
fase transferensi dengan membuka kembali buku-buku Yunani. Kedua, fase
tranferensi makna yaitu proses penerjemahan dari bahasa Barat ke bahasa Timur.
Ketiga, fase anotasi
memperhatikan substansi dan tema pemikiran dan memberikan sedikit “bumbu Timur”
pada makna-makna itu. Keempat, fase peringkasan yaitu mempelajari suatu
tema dengan fokus dan tanpa melakukan perdebatan dan pembuktian. Kelima,
mengarang dalam bahasa pendatang dengan melakukan penyempurnaan sehingga
kebudayaan the other mulai terbendung.
Keenam, mengarang dalam
lingkup kebudayaan pendatang tetapi mulai dipisahkan antara kebudayaan ego
dan the other. Ketujuh, kritik terhadap kebudayaan pendatang dan
menunjukkan lokalitas atau partikularitasnya. Kedelapan, menolak total
kebudayaan pendatang karena tidak diperlukan lagi.
Cara-cara Hasan Hanafi ini sama
dengan apa yang dilakukan oleh pemikir Islam awal macam Al Khindi, Ibnu Sina,
Al Farabi dan berakhir di Ibn Rusdy. Cara ini juga dipertegas olehnya dalam
buku Islamologi 2: Dari Rasionalisme ke Empirisme dengan mengungkap
pendekatan anotasi yang pernah dilakukan Ibn Rusdy terhadap filsafat Yunani.
Dengan begitu, Hanafi satu
pandangan dengan Abed Al Jabiri soal bagaimana kebudayaan Islam dikembangkan di
tengah belantara dominasi Barat saat ini. Karena itu, tidak heran jika masih
ditemukan ide-ide atau kutipan-kutipan Barat dalam karya-karya Hanafi, apalagi
dia pernah belajar metodologi di Prancis.
Dalam Islamologi 2
Hanafi terang-terangan melakukan komparasi antara Fenomenologi Huserl dengan
iluminasi Suhrawardi. Pada Dari Akidah ke Revolusi sangat kental sekali
semangat revolusioner kiri (Marxisme). Dia ingin mengawinkan spirit
revolusioner Marxisme pada Islamisme. Tetapi buku yang lain seperti Studi
Filsafat I: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer dan Studi Filsafat
II: Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern sudah semakin menghilang konstruksi
Baratnya, sekalipun masih ada dalam posri yang kecil.
Hasil dan Indeterminasi
Oksidentalisme
Proyek oksidentalisme masih
dihadapkan pada dua pertanyaan penting. Pertama, apa hasil dari
oksidentalisme ini? Kedua, bagamana—nanti jika memang berhasil—membedakan oksidentalisme dengan orientalisme yang
eksploitatif dan kecenderungannya mendeterminasi? Jangan-jangan oksidentalisme
hanya menunggu giliran untuk merebut kekuasaan atas Barat dan mendeterminasi
balik, sehingga tak ada bedanya antar oksidentalisme dan orientasi: sama-sama
eksploitatif?
Menjawab pertanyaan pertama
Hanafi merumuskan beberapa hal yang akan dicapai oleh oksidentali. Di antaranya:
kontrol dan pembendungan atas kesadaran Eropa dari awal sampai akhir; mempelajari
kesadaran Eropa dalam kapasitas sejarah bukan kesadaran yang berada diluar
sejarah; mengembalikan Barat ke batas alamiahnya sehingga ia partikularitas
akan tampak; menghapus “kebudayaan kosmopolit”, menemukan spesifikasi bangsa di
seluruh dunia dan setiap bangsa memiliki peradaban dan kesadarannya sendiri.
Kemudian, membuka jalan bagi terciptanya inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari
donminasi akal Eropa; menghapus rasa rendah diri sebagai bangsa non Eropa;
melakukan penulisan ulang sejarah agar dapat semaksimal mungkin persamaan bagi
seluruh bangsa; memulai filsafat dari Timur; mengubah Timur dari objek menjadi
subjek; menciptakan oksidentalisme sebgai ilmu pengetahuan yang akurat;
membentuk peneliti tanah air yang membaca perdabannya dari kacamatanya sendiri;
dimulainya generasi pemikir baru; oksidentalisme mengakhiri penyakit
rasialisme.[3]
Pertanyaan kedua, dia juga
memastikan bahwa oksidentalisme bukanlah suatu spirit akan kekuasaan. Melainkan
memiliki motif yang paling manusiawi yaitu kesetaraan antar bangsa. “Oksidentalisme
tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol. Ia hanya menghendaki pembebasan diri
dari pengaruh pihak lain agar ego dapat disejajarkan dengan the other dalam
tingkat kedermawanan dan kesetaraan” demikian Hanafi.[4]
Dengan demikian, jika kita amati
perkembangannya saat ini, oksidentalime masih sungguh “berbau” proposal.
Realisasinya tentu saja tidak bisa dalam waktu dekat jika dilihat dari
preskripsi yang dibuat oleh Hanafi. Namun, dia telah menunjukkan “ambisinya”
untuk memberikan perlawanan atas dominasi Barat, yang motifnya tidak hanya
merebut kesetaraan dalam pengetahuan tetapi juga untuk keadilan sosial.
Akhirnya, jika oksidentalisme masih sebentuk proposal pengajuan, tetapi ini
proposal yang layak di-ACC oleh semua kalangan (Islam).
0 Comments