Oleh: Herlianto A
Apakah Marxisme itu filsafat atau
sebentuk kerangka sains? Adalah pertanyaan menohok Maria Antonietta Macciocchi
pada Louis Althusser dalam sebuah wawancara bertajuk “filsafat sebagai senjata
revolusioner”. Rupanya, pertanyaan ini menimbulkan kegaduhan tersendiri di
kalangan marxis maupun para penilai marxis. Althusser menjawab pertanyaan itu
dengan sangat skematis.
Sebelum masuk ke dalam jantung
pembahasan Althusser, baiknya mengingat kembali materi filsafat dan sains. Dua
gagasan ini adalah hal berbeda sekalipun tak terpisahkan. Apa itu filsafat dan
apa itu sains? Banyak kalangan gegabah dalam mensimplifikasi antara filsafat
dan sains. Misalnya, dengan melihat perbedaan keduanya pada ukuran empiris,
bahwa filsafat tidak bersandar pada persepsi indera, sebaliknya sains hanya
berkutat dalam takaran persepsi indera (yang teramati). Sehingga filsafat
urusannya dengan langit, persoalan idea, malaikat, Tuhan, takdir dan semua yang
abstrak-metafisik lainnya, sementara sains hanya bercumbu dengan meterialitas
konkret-empiris.[1]
Penyederhanaan ini membuat
filsafat dan sains terpisah jauh, saling merendahkan satu sama lain, dan tentu
akan membuat penganutnya “tersesat di jalan yang benar” karena klasifikasi ini
akan tertepis oleh fakta bahwa banyak filsuf yang mengajukan argumen terhadap
hal-hal yang tidak teramati seperti gravitasi dan arus listrik, sebaliknya juga
banyak filsuf yang menolak yang tidak teramati, seperti menolak Tuhan dan
sejumlah persoalan klenik lainnya. Bahkan hipotesa-hipotesa sains adalah
filsafat itu sendiri, sains (praktik) tak akan memiliki bentuk tanpa filsafat
(teori), sebaliknya perenungan-perenungan filosofis didasari oleh temuan-temuan
sains. Pada keakraban relasi itulah marxisme hadir.
Laksana Rel dan Kereta
Lantas bagaimana sains dan
filsafat berelasi dalam marxisme? Althusser—tokoh marxis kenamaan asal Prancis yang fenomenal
pembelaannya atas ajaran maxis dari gempuran saintisme moden—menegaskan filsafat
marxis sebagai senjata revolusioner dalam beberapa tulisan pendeknya. Misalnya
dalam Lenin dan Filsafat, Jawaban Untuk John Lewis, termasuk
wawancaranya dengan Maria Antonietta Macciocchi.
Disitu dia tegas bahwa
marxismelah salah satunya yang telah berhasil menunjukkan hubungan-tak
terpisahkan antara sains dan filsafat. Dia menunjukkan dalam marxisme terdapat
materislisme historis sebagai sains dan
materialisme dialektis sebagai filsafat,
yang bertaut tak terpisahkan. Mengurangi salah satunya sama artinya memisahkan
kereta dari relnya. Tanpa filsafat, marxis kehilangan kerangka teorinya dan
tanpa sains ia menjadi gagasan yang mangkrak, sebagaimana filsuf-filsuf yang
orgasme hanya dengan menafsir dunia. Sampai disini dia menemukan mana yang filsafat
dan mana yang sains dari marxisme.
Secara sederhana, materialisme
historis menelusuri evolusi cara hidup manusia (red: cara berproduksi) yang
membentuk struktur sosialnya. Disini Marx, layaknya ilmuan sains, menelusuri
fakta-fakta dan data-data sejarah masyarakat. Dalam pencarian ini—dalam The German
Ideology—dia menemukan
lima tahapan perkembangan cara hidup manusia: primitif, perbudakan, feodalisme,
kapitalisme, dan akan memuncak pada sosialisme (komunisme). Dan karena sandaran
sains inilah sosialismenya ilmiah, yang membedakan dengan sosialisme utopis
yang pernah ada sebelumnya ala Owen, Fourier dan genknya.
Sementara materialisme dialektis
sendiri diturunkan dari filsafat dialektika Hegel yang masih mengawang. Dialektika
yang filosofis-metafisis tersebut oleh Marx di-landing-kan ke ranah
material sebagai hukum umum yang tanpanya realitas sulit dipahami. Kemudian dijadikan
senjata untuk melihat yang riil secara keseluruhan karenanya membuat mengerti
bagaimana satu realitas berelasi dengan realitas lain, bagaimana budak dengan
tuannya atau proletar dan borjuis dalam melalui sirkuit sejarah manusia—dalam The Manifesto
Communist.
Lalu bagaimana relasi
materialisme historis dan materialisme dialektis mengambil bentuk? Althusser
melanjutkan, bahwa dari relasi sosial kelas itu—yang ditemukan melalui filsafat materialisme dialektis—secara sains Marx
menunjukkan bahwa tidak hanya pertentangan kelas yang terjadi tetapi adanya
eksploitasi kelas yang satu atas yang lain dan itu berlangsung dalam sejarah
manusia. Bagaimana eksploitasi itu dapat dipahami? Marx membuktikan secara
saintifik pula lewat
temuan surplus value
dalam proses produksi kapitalis. Kedok kapitalis dibongkar dengan
terang-terangan dalam Das Capital, bahwa borjuis menghisap darah proletar. Dengan
demikian materialisme historis (sains) adalah kereta yang melaju di rel
materialisme dialektis (filsafat).
Frame Lenin
Namun Althusser menyadari bahwa filsafat dan sains marxisme
seringkali dipisahkan, dan kerap diletakkan di dua kutub yang membuat
sambungannya “ngeblur”. Implikasinya mengungsikan marxisme pada dua pulau
berseberangan yaitu “pulau kanan” yang cenderung positivisme dan “pulau kiri”
yang cenderung subjektivisme. Maka, alih-alih memahami marxisme secara komprehensif,
malah menyobek marxisme menjadi dua arah yang sulit bertemu, yang karenanya
mengurangi sifat revolusionernya.
Positivisme melatkkan marxisme
sebagai an sich sains, dan itu akan menjadikannya sebatas temuan dan
mudah “tergantikan” seiring metode falsifikasi ala Karl Popper dikembangkan—dimana temuan ilmiah
akan hilang seiring temuan ilmiah yang baru. Dalam konstruksi ini marxisme
murni positivis dan tidak memiliki fungsi apa-apa bagi kehidupan sosial
manusia, dan hanya meramaikan penyelidikan ilmiah belaka. Padahal yang
diinginkan Marx adalah adanya praksis (perlawanan) yang mengubah dunia. Sementara
subjektivisme, menonjolkan filsafat marxis belaka, yang berarti mengembalikan
marxisme pada idealisme yang terbukti tak dapat berbuat apa-apa untuk kenyataan
yang dialami manusia.
Untuk membersihkan marxisme dari
fanatisme positivisme dan subjektivisme eksistensialis-fenomenologis tersebut,
Althusser perlu mengkonstruksi pendekatan Lenin. Dimana Lenin dengan bernas
meletakkan marxisme dalam terang politik. Pada buku Satate and Revolution,
dia melihat secara politis negara justru yang menjadi penghambat dan
legitimator bercokolnya eksploitasi kapitalis terhadap proletar di ranah
produksi[2].
Konstruksi ini diperkuat kemudian oleh Althusses dalam “Ideologi dan Aparatus
Ideologi Negara”, dimana dia membongkar dua kekuatan yang digunakan oleh negara
untuk melanggengkan kapitalisasinya, yaitu: ideological state apparatus
(ISA) dan represif state apparatus (RSA).[3]
ISA mencakup lembaga-lembaga
semacam sekolah, lembaga kebudayaan dan agama, seni dan sastra, dan bahkan
keluarga yang digunakana negara untuk secara ideologis mematahkan semangat
perlawanan ala marxisme. Sementara RSA adalah kekuatan militer seperti tentara,
polisi, dan preman untuk menakut-nakuti secara fisik setiap kemungkinan
perlawanan atas negara yang muncul, atau bahkan membabat habis benih-benih
perlawanan yang ada. ISA dan RSA pernah digunakan dengan baik oleh Suharto,
hingga dia mampu bertahan selam berpuluh-puluh tahun berkuasa di negeri ini.
Dari kenyataan itu, maka Lenin
menjadikan marxisme tidak sebatas untuk memahami realitas tetapi jauh melampaui
itu. Baginya gerakan revolusioner harus di dahului oleh teori-teori
revolusioner. Temuan-temuan sains Marx harus dikontruksi menjadi filsafat yang
revolusioner demi menguatkan gerakan perlawanan atas kapitalisme dalam bentuk
apapun. Marxisme dapat dipahami dalam terang filsafat dan sains, pertemuan keduanya,
bagi Lenin merupakan peta melawan dan perlawanan itu sendiri.
Dengan demikian, menjadi jelas
bahwa marxisme bukanlah sains dan bukan filsafat melainkan pertautan antara
sains dan filsafat, dimana simpul perlawanan dieratkan. Marxisme melinearkan
antara sains atau temuan-temuan empiris lainnya dengan filsafat sebagai suatu
hukum universal.
#filsafatmazhabkepanjen
0 Comments