Daur Ulang Otak Sokrates


Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi Plato. Foto/ervakurniawan.wordpress.com

Mazhabkepanjen.com - Sedari awal kerja dari filsuf adalah menciptakan “keresahan”. Menggugat kejumudan berfikir, menggelitik status quo yang memproduksi kebenaran ekslusif yang  berselingkuh dengan para perumus mitos-mitos. Dibalik kebenaran palsu alam mitos, para penguasa bermanuver melebarkan sayap dominasi dan hegemoninya. Sementara rakyat dikungkung dalam kesadaran magis dan naif. Mereka meyakini bahwa penderitaannya selama ini adalah takdir dan kehendak para dewa, sementara manusia sebagai hamba tak punya hak untuk mengajukan interpelasi tentang kondisinya karena sakral.

Model-model dominasi demikianlah yang didekonstruksi oleh para filsuf  bahkan sejak Thales 640-546 SM. Yang dimulai dari memperdebatkan persoalan kosmologi, disitu juga hadir Anaximandros 611-547 SM dan Anaximenes 538-480 SM. Reinkarnasi jiwa (mazhab pythagorean) yang dipandu lansung Pythagoras 570-480 SM, keajekan alam (mazhab elea) yang salah satu dedengkotnya adalah Parminides 515-455 SM, tentang aneka anasir alam (mazhab pluralisme) yang salah satu motornya Empedokles 484-424 SM, Perubahan yang terus mengalir oleh Herakleitus, ketakterbatasan benda terkecil (mazhab atomis) di gagas oleh Leukippos dan Demokritos 460-370 SM, kemudian si pandai bersilat lidah (kaum sofis) yang salah satu agennya adalah Protagoras.

Sementara Sokrates keluar dari wilayah debat kosmologi dan berpijak pada pengetahuan manusia sebagai yang utama, segala sesuatu di bumi ini harus dipertanyakan “mengapa demikian?”. Arete adalah sumber dari kebenaran hidup. “Orang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik” adalah diktum yang terus dikumandangkan. Sokrates  terus berkeliling dari satu tempat ketempat lain dari satu pemuda ke pemuda lain untuk berdebat tentang “budi”. 


Caranya untuk mempengaruhi dianggap meracuni pemuda, karena itu ia mendapat julukan Gadfly of Athena (lalat pengganggu Athena). Pada saat yang sama ia dikritik oleh para kaum sofis tentang keabsolutan ajarannya. “Kebenaran tak lagi di tangan seorang filsuf” demikian kilah kaum sofis, tetapi setiap manusia punya kebenarannya sendiri. Namun demikian, Sokrates tidak gentar dengan invasi kaum sofis. Malah ia memetakan beberap tipe bernegara mulai dari Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi dan Tirani. Dan ia dengan tegas mengatakan Aristokrasilah yang paling tepat. Negara harus dipimpin oleh orang pinter seperti para filsuf bukan orang yang karena di dukung oleh banyak orang. Ini sekaligus menjadi tamparan serius bagi sistem demokrasi yang kini kita juga memujanya.

Keberanian Sokrates untuk menerobos kematangan mitologi yunani, membuatnya dihujat oleh para penguasa. Ajarannya membahayakan status quo, ia pun dikecam sebagai anak tidak saleh yang menentang para dewa, ia kemudian dihukum mati dengan meneggak racun. Kejadian ini membuat miris salah seorang muridnya, Plato. Baginya, Sokrates yang benar dalam kasus itu atau bahkan manusia paling benar sedunia. Sokrates boleh “sedho” tetapi ajarannya tetap mengalir deras di alam Yunani hingga ke pelosok dunia. Dan Plato menjadi orang paling berhasil dalam mendaur Ulang otak Sokrates. Platolah yang membukukan ajaran Sokrates hingga saat ini. Lalu  bagaimana Plato mempertahankan radikalitas ajaran Sokrates hingga dirinya terhindar dari  kematian? Mari kita bedah bersama!

Tulisan Sebagai Memo

Yang kita tahu adalah tak ada satu huruf pun yang berhasil di tulis oleh Sokrates, jika kita berbicara hukum maka Sokrates tidak punya hak cipta atau HaKi (hak kekayaan intelektual) atas karya pemikirannya. Artinya pemikiran Sokrates bisa saja diakui oleh siapapun termasuk para filsuf di STF Al-Farabi. Sedikit ganjil memang, seseorang yang dijuluki mahaguru filsafat ternyata tidak punya karya sama sekali dan itu berbanding terbalik dengan para pemikir filsafat modern dengan setumpuk karyanya. Bahkan juga ada anjuran bagi para penerus Sokrates untuk terus menulis agar bisa mendokumentasikan orisinalitas pemikirannya, misalnya para pemikir digubuk STF Al-Farabi diminta untuk buat makalah, artikel dsb. Namun bukan berarti orang kaya harus punya grobak cilok, lesehan bakso dsb.

Lalu apa gerangan yang menyebabkan Sokrates “masa bodoh” dengan karya tulis? Benarkah ia sibuk layaknya para pejabat atau para mahasiswa dengan setumpuk  kegiatannya,  lalu tidak punya waktu untuk menulis? Jika ditilik dari beberapa referensi sejarah tentang Sokrates dia memang menggunakan metode yang berbeda untuk menyampaikan gagasannya, ia memilih untuk menemui langsung para pemuda, tukang becak, tukang parkir, pedagang kaki lima, para gembel dsb.[1] Disitu ia mengajak berdiskusi dan berdebat tentang hakekat hidup dan mitos-mitos di Yunani yang mendera kebebasan logika untuk berkembang. 


Ia mencoba menggunakan pola induktif dengan mengajukan persoalan terhadap lawan debatnya meskipun  ujung-ujungnya tidak mencapai jawaban yang memuaskan tetapi ia tetap intens melakukan itu.[2] Jadi ibarat bidan, ia melahirkan potensi emansipasi yang ada disetiap pemuda, bak pencari ikan ia memberi “jaring” logika agar para pemuda mampu menjaring “ikan-ikan” pemikiran sehingga mampu membebaskan keajegkan dan kejumudan masyarakat Yunani yang terkerangkeng oleh mitos.

Namun hal itu juga tidak menjawab mengapa Sokrates tidak menulis? Dalam sebuah buku “Derrida” Muhammad Al-fayyadl mencoba mengulas bagaimana pentingnya “tidak menulis” bagi Sokrates. Kebenaran hakiki adalah kebenaran yang secara intrinsik terdapat dalam suara (phone) dan diri penutur, maka kehadiran penutur menjadi guarantee (jaminan) terhadap pencegahan munculnya penafsiran yang liar dan menyimpang dari keinginan pembicara. 

Tulisan hanya mengacak-acak antara konteks dengan penutur. Sementara penafsiran terus muncul karena kehadiran penutur telah dilucuti sedemikian rupa. Sehingga tulisan hanya menghadirkan jejak (trace) yang terus menerus tertoreh dalam medan makna.

Sementara Plato berpostulat bahwa tulisan sebagai “kekerasan artikepal” terhadap jiwa. Bagi dia, jiwa dan ingatan manusia adalah abadi sebagaimana hakekat sumber pengetahuan. Sebalikanya, tulisan hanya membuat ingatan menjadi sementara, ketika orang menulis maka ia tengah mematerialkan ingatannya dan ia menjadi enggan untuk mengingat dan menggunakan memorinya. Dengan kata lain, tulisan mereduksi sebagian fungsi  ingatan sekaligus merusak fungsi ingatan dan jiwa sebagai cermin jiwa. Lho kok! Plato sendiri menulis, misalnya bukunya Apologia, Politea dsb. Wah! Nggak konsisten mas Plato ini.  

Tidak demikian, bagi Plato tulisan hanyalah teknik pengganti ingatan yang spontan nan tidak abadi yaitu ingatan yang rapuh oleh gerusan waktu. Bagi Plato tulisan tak ubahnya secarik memo yang sewaktu-waktu mengingatkan kita, tetapi tidak dibutuhkan selama ingatan kita masih fresh. Jadi, tulisan hanya memiliki fungsi instrumental bukan pengetahuan itu sendiri. Peralihan tuturan ke tulisan adalah sebentuk degradasi yang esoterik ke teknik, dari yang abstrak ke yang material,  dari spritualitas ke teknikalitas atau bahkan ekstrimnya merosotnya kesadaran ke ketaksadaran. Meskipun sejarah metafisika mendepak tulisan pada sekedar teknik tetapi fungsinya tetap diakui, maka kata J. Derrida sejatinya bukan menampik kehadiran tulisan tetapi menundanya (Al-Fayyadl: 2009: 50).

Ala Sunan Kalijaga

Masyarakat yunani terkenal “mokong” dengan pendirian mitosnya, sehingga  tindakan Sokrates dinilai sebagai sebuah pembangkangan terhadap para dewa sesembahannya dengan meracuni otak pemuda. Maka, kematian pun menjadi tak terhindarkan, nyawanya melayang setelah kalah voting antara yang menginginkan ia hidup versus mati. Melihat kejadian “mengerikan” ini, Plato berfikir ulang untuk mengikuti jejak gurunya dalam hal metode penyampain gagasannya. Meskipun masih menggunakan metode dialog, tapi ia memilih memadukan antara akal dengan mitos. Mendeskripsikan mitos dengan logika-logika didalamnya. Meskipun sejatinya logika dan mitos adalah dua hal yang bertentangan dan hampir mustahil bisa menyatu, ibarat air dan minyak.

Ada satu ilustrasi tentang bagaimana logika dapat diejawantahkan dalam Mitos. Misalnya, Plato melihat hidup ini sebagai kereta kencana yang dilengkapi oleh seorang sais dan dua kuda yang berwarna hitam dan putih, sais dianalogikan sebagai logika (logistikon), kuda hitam (thumos) sebagai nafsu serakah yang akan menjatuhakan manusia pada kenistaan. Sementara kuda putih (epithumia) sebagai nurani kebaikan manusia yang akan mengangkat derajat manusia. Kereta kencana ini dilengkapi oleh sayap sebagai lambang cinta kasih (eros) yang kemudian mengikuti arak-arakan kereta para dewa ke langit. 

Diperjalanan kuda putih dan hitam cendrung berjalan tidak beriringan, kuda hitam maunya turun dan kuda putih maunya naik. Nah disinilah diperlukan peran sais (logistikon) untuk mengontrol kedua kuda tadi agar tetap bisa mengikuti jejak para dewa (Wibowo: 2010). Jadi dari ilustrasi tadi jelas bahwa adalah logika ketika hidup ini memang perlu dikontrol kerena adanya nafsu dan keengganan, dan adalah mitos ketika ternyata hidup ini bagai kreta kencana yang mengikuti para dewa kelangit untuk mencapai alam Nirwana (surga).

Pola pengajaran yang demikian ini adalah ala Sunan Kalijaga pada saat menyebarkan islam ditanah jawa. Dimana fanatisme orang jawa dengan mitos-mitos kejawen tidak bisa langsung diterobos dengan logika murni, karena akan dianggap gerakan “subversif” terhadap kedaulatan suatu agama, dan jika itu dipaksakan akan bernasib sama seperti Sokrates di era Yunani kuno. Atau bahasa simplenya “masuk dari pintu mereka tetapi keluar dari pintu kita”. Disitulah kecerdasan Plato dalam menyikapi kondisi real masyarakat Yunani, sementara ia mengharapkan  ajaran Sokrates bertahan di dunia ini.

Membumikan Arete

Dalam menerjemahkan pemikiran Sokrates ada dua penulis yang tidak bisa kita pungkiri yaitu Xenopon dan Plato. Dua murid Sokrates ini memiliki pandangan yang berbeda tentang gurunya. Xenopon bukan seorang filsuf sebenarnya[3]. Ia menggambarkan dari sudut yang konservatif. Dalam bukunya Memorabilia ia marah dan mendakwah gurunya merusak kaum muda Athena. Sokrates tidak dilukiskan sebagai seorang filsuf. Bagi Xenopon, Sokrates  membosankan dan tidak dimengerti apa yang hendak diungkapkan. Melihat ini, filsuf abad 20 dari Inggris, Bertrand Russel, tidak terima  dan mengatakan bahwa orang bodoh tidak akan pernah tepat dan valid dalam melaporkan apa yang dikatakan orang pandai.

Sementara Plato terlalu cerdas menafsiri Sokrates sehingga yang tampak Sokrates ala jagoan hasil rekaan karya seni yang artistik, maka timbul kecurigaan ada rekayasa terhadap pemikiran orisinil Sokrates. Menjadi susah untuk membedakan antara yang dikatakan Sokrates dan yang diucapkan Plato. Plato terlalu banyak memasukkan komentarnya terhadap gagasan Sokrates. Tetapi ibarat bawang putih yang sudah dicampur dengan masakan mustahil bisa melihat bentuk asli bawang putih, hanya pada saat mencicipi akan terasa rasa dan aroma bawang putih, demikian juga pemikiran Sokrates ditangan Plato (Strathern: 2001: 50).

Ajaran terpenting Sokrates yang di-recycle oleh Plato adalah Arete (keutamaan). Yang mana Setyo Wibowo menerjemahkan Arete sebagai moral atau budi. Sementara budi adalah pengetahuan kata Sokrates (Hatta: 1986: 83). Maka orang (ontologi) yang berpengetahuan (epistemologi) dengan sendirinya berbudi baik (aksiologi). Plato juga mengamini bahwa ilmu pengetahuan adalah yang utama dalam hidup ini, sehingga hidup ini perlu di uji termasuk postulat-postulat dan fatwa yang disampaikan oleh para dewa sekalipun. Sebagaimana dikutip dalam buku Plato Apologia 38a, “hidup yang tak teruji tak layak dijalani”[4].

Jika hidup bahagia adalah tujuan dari setiap manusia, maka kuncinya adalah lingkungan yang bermoral. Jika lingkungan kita artikan sebagai negara (polis) maka hidup yang baik dicapai jika negara yang kita tempati baik. Nagara yang baik adalah aristokrasi mestashih usulan Sokrates. Bagi Plato akal budi tidak hanya mendorong manusia pada yang baik (aspek teoritis) tetapi juga memacu jiwa untuk bertindak baik (aspek praktis) sehingga jiwa manusia diangkat ke alam rohani (Tjahjadi: 2004: 56). 

Jika saat ini kita melihat para politisi yang hebat berdebat ditelevisi dengan pengetahuannya yang luas, tetapi tak lama setelah itu diadili di meja hijau karena melanggar Undang-Undang Tipikor alias korupsi. Maka fenomena ini mengatakan bahwa  pengetahuan yang dimiliki masih di wilayah teori. Kerena kabaikan yang mengerucut pada keadilan (dikaiosyne) tidak terealisasi. Ini menjadi pengetahuan yang tidak utuh. Dan tidak bisa digunakan untuk menjustice bahwa orang berpengetahuan belum tentu berbudi baik.                                                                                                                        
            
Magnum Opus Plato

Berangkat dari pertanyaan “Apa yang disebut adanya?” Plato merumuskan suatu gagasan yang luar biasa “menggemparkan dunia” yaitu segala sesuatu di dunia ini adalah ide. Gagasan ini di ilhami oleh dua filsuf besar sebelumnya yaitu Parminides dan Herakleitus. Plato membenarkan Parminides bahwa realitas yang benar adalah dunia ada yang tidak berubah dan abadi, tetapi dia juga menghormati pengamatan Herakleitus bahwa dunia dimana kita hidup adalah tidak permanen dan sementara waktu saja, lalu ia menyimpulkan bahwa manusia sesungguhnya tidak hidup dalam dunia nyata, dunia ada (being) yang sesungguhnya. Dunia yang kita lihat dan kita jalani sehari-hari hanyalah abstraksi dan imitasi  dari dunia ide yang abadi di alam sana (Freeman & Appel: 2004: 138). Sehingga kata “ide” tidak sama dengan gagasan dalam pikiran kita sebagaimana dikatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Dilihat dari ulasan diatas memang sekilas kesannya Plato melupakan guru kesayangannya dan lebih sebagai seorang Parminides ketimbang Sokrates. Tapi, ingat bahwa pokok ajaran Plato adalah mencari pengetahuan tentang pengetahuan. Ia bertolak dari ajaran Sokrates yang mengatakan bahwa “budi ialah tahu”. Budi yang berdasarkan pengetahuan menghendaki suatu ajaran tentang pengetahuan sebagai dasar filosofinya. Sementara kolaborasi dari beberapa pemikiran filsuf  dalam gagasan Plato adalah hakekat dari ide itu sendiri yang selalu terikat dengan ide-ide yang lain. Misalnya, munculnya “idea api” tidak terlepas dari “ide panas”.   

Ilustrasi lain yang bisa kita gunakan untuk menguji “ide” Plato adalah merujuk pada ilmu pasti. Dalam ilmu pasti tidak dibicarakan gambar-gambar kongkret, misalnya suatu garis segi empat, melainkan segi empat pada umumnya. Dalam pelajaran metematika, segi empat akan merujuk pada apa yang digambarkan guru pada papan. Tetapi dalil-dalil yang di gunakan ternyata juga berlaku bagi segi empat pada umumnya sekalipun tidak terdapat dikelas, andai saja segi empat yang digambar guru tadi di hapus maka hukum segi empat tetap ada. Dan bentuk segi empat akan tetap sebagaimana idenya. 
 
Penutup

Gagasan Sokrates bukanlah gagasan kering, akan tetapi gagasan yang selalu membias ditangan para penafsirnya. Dan selalu terbuka untuk diperdebatkan. Tetapi juga perlua diakui bahwa hidupnya pemikiran Sokrates tidak terlepas dari kegeniusan muridnya Plato. Iya dengan cerdas meleburkan radikalitas rasionalitas dan mitos-mitos, hingga kebenaran rasionalitas mampu bercokol di yunani. dan juag Perlu diakui bahwa gagasan pamungkas Plato tentang “ide” juga tidak terlepas peran dan jerih payah Sokrates.

#filsafatmazhabkepanjen
  
Daftar Pustaka

Tjahyadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.

Strathern, Paul. 90 Menit Bersama Sokrates (Alih bahasa: Frans Kowa). Jakarta: Erlangga. 2001.

Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida.Yogyakarta: LKiS. 2009.

Wibowo, A. Setyo. Arete: Hidup Sukses Menurut Platon. Yogyakarta: Kanisius.2010.

Zuhry, Ach. Dhofir. Pelangi di Langit Yunani. Diktat STF Al-Farabi. Malang. 2011.

Hatta, Mohammad. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: UI Press.1986

Freeman, Eugene & Appel, David. Kebijaksanaan dan Ide-Ide Utama Plato. Surabaya: Pustaka Eureka. 2004.


[1] Itu hanya bahasa penulis untuk mempermudah dalam mengkontekstualkan kondisi sokrates dengan kondisi sekarang
[2] Dalam Tjahyadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan para filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
[3] Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani, 80
[4] 90 menit bersama sokrates hal: 58

Post a Comment

0 Comments