Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah

Oleh: Herlianto. A

Sumber: thoughtco.com

Hakikatnya filsafat adalah bahasa universal yang mengacu pada bagaimana manusia berpikir untuk menjawab setiap persoalan kehidupannya. Pada titik ini istilah “filsafat” tidak mengenal dikotomi Barat (western) dan Timur (eastern). Namun demikian, memang dalam sejarahnya, filsafat yang berkembang di daratan Eropa dan Asia memiliki perbedaan tertentu.

Salah satunya misalnya, Eropa lebih bertitik tekan di wilayah rasionalitasnya sementara Asia cenderung di wilayah intuisinya. Tentu, ada beberapa perbedaan lain yang bisa pecah perpoin. Tetapi, artikel ini secara spesifik menjelaskan filsafat Barat, walaupun nanti akan ada sedikit banyak menyinggung filsafat Timur terutama filsafat Islam.

Sumber dan Sejarah Filsafat Barat

Sumber filsafat Barat menurut Hassan Hanafi ada dua: yang terekspos dan tidak terekspos.[1] Yang pertama yaitu peradaban Yunani dan Kristianitas, sementara yang kedua meliputi peradaban Cina, Mesir kuno, dan Babilonia. Filsafat Yunani memiliki peran sangat sentral dalam tradisi filsafat Barat, sebagian besar ide-ide filsafat Barat hari ini telah muncul embrionya di era Yunani. Bahkan Alfred North Whitehead, pemikir terkemuka kontemporer, mengatakan bahwa filsafat Barat hari ini hanyalah catatan kaki (footnote) dari filsafat Yunani terutama filsafat Plato.

Filsafat Yunani berkembang sejak abad ke 6 SM, di awali oleh corak pemikiran yang kosmosentris yaitu suatu mode yang mencari arkhe prinsip dan anasir dari alam semesta. Dalam hal ini kita mengenal mazhab Miletus yang diampu Thales dan muridnya: Anximandros dan Anaximenes. Kemudian mazhab Phytagorean oleh Phytagoras yang menyebut harmoni semesta karena dapat diangkakan.

Mazhab Elea atau monis yang dikembangka oleh Parmenides, melihat semesta utuh dan penuh. Mazhab pluralis oleh Anaxagoras, Empedokles, dst yang melihat semesta berasal dari banyak unsur. Semua ini biasa dikenal dengan istilah filsafat Pra Sokratik. Barulah kemudian muncul kaum sofis dan Sokrates beserta muridnya: Plato dan Aristoteles. Pada era Sokratik filsafat Yunani bercorak antroposentris yaitu tidak hanya membicarakan kosmos tetapi juga manusia, karena itu lahir filsafat politik, etika, dan estetika.[2]

Semangat filsafat Yunani memang cenderung ilmiah, dalam arti bahwa mencari jawaban atas fenomena alam dengan cara tidak bergantung pada mitos dan agama-agama (politeis) yang saat itu menjadi cara masyarakat Yunani. Misalnya, semesta ini berasal dari air, udara, api bukan lagi ciptaan para dewa. Dunia tersusun atas partikel-partikel kecil yang disebut spermata dan atom yang kemudian membentuk beragam benda hari ini. Aristoteles menjelaskan mengapa ada siang dan malam dan mengapa ada benda jatuh.

Semua itu terjadi bukan karena dewa menyalakan lampu. Dia bilang bahwa siang dan benda jatuh karena hukum alam, yaitu hukum langit (celestial) dan hukum bumi (terrestrial). Kedua hukum ini berbeda. Hukum benda-benda langit itu mengorbit atau bergerak melingkar, sementara hukum benda bumi adalah jatuh. Pasca Aristoteles filsafat Yunani terus berkembang dengan corak etik seperti Epikurianisme dan Stoisisme.

Transfer Filsafat Yunani

Kejayaan Yunani akhirnya berakhir setelah Makedonia berhasil menguasai wilayah tersebut pada abad ke 3 SM. Pada masa ini Aleksandria (Mesir) menjadi salah satu tempat penting. Karya-karya filsuf Yunani dikumpulkan di kota ini. Aleksander Agung merupakan muris Aristoteles sendiri. Hingga datangnya kaisar Agustus dari Romawi merebut Aleksandria tahun 27 SM. Di masa ini karya Yunani difoto kopi dan disistematisasi. Sebagian karya Yunani dikirim ke Romawi dan sebagian lainnya dipertahankan di Aleksandria.

Orang-orang Kristen mempelajari filsafat Yunani. Kemudian ketika Islam berekspansi berhasil merebut Aleksandria, maka karya Yunani dipindah ke Antioch.[3] Orang-orang dari Harran dan Marwa belajar filsafat di Antioch, misalnya Abu Bishr Mata Ibn Yunus dan Yuhana Ibn Hailan. Orang-orang ini kemudian ikut pindah ke Bagdad yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu di abad 8 M. Mereka mengajarkan filsafat di situ, maka muncullah sosok seperti Al Khindi dan Al Farabi.

Selain itu juga ditopang oleh penerjemahan karya-karya pemikir Yunani ke dalam bahasa Arab. Maka kita kenal penerjemah besar seperti Hunain Ibn Ishaq, Ishaq Ibn Hunain, Ibn Adi, dst. Puncak penerjemahan ini terjadi pada era Al Ma’mun dinasti Abbasiyah. Banyak pemikir Islam sekaligus sebagai komentator atas karya-karya Yunani, misalnya Ibn Sina, Al Khawarizmi, Ibn Rusyd, dst.

Nah, sejak abad ke 13 hingga 14 karya-karya pemikir Islam banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, yang kemudian dibaca oleh pemikir-pemikir Eropa. Maka di situ lahirlah kemudian apa yang disebut renaisans atau peradaban Modern pada abad ke 15 M. Peradaban ini mencoba membaca kembali karya-karya Yunani, mulai dari filsafat, sastra, politik, ekonomi, dst. Termasuk beberapa karya komentar (syarah) pemikir Islam yang mengembangkan filsafat Yunani.

Modernitas dan Tradisi Ilmiah

Modernitas melahirkan beberapa semangat di antaranya sekulerisme dan objektivisme. Sekulerisme membuat pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Jika sebelumnya agama yang mengatur negara maka kini agama yang diatur oleh negara. Agama menjadi persoalan privat dan tak boleh membawa-bawa agama di ruang publik.

Sementara objektivisme adalah suatu modus ilmu pengetahuan yang dijadikan standar benar untuk pengetahuan. Objektif artinya pengetahuan harus terbebas dari intervensi subjek manusia. Karena manusia dianggap tidak bisa netral, manusia memiliki perasaan dan kecenderungan tertentu sehingga membuat ilmu pengetahuan yang dihasilkan menjadi penuh kepentingan.

Objektivisme ini terispirasi dari filsafat Rene Descartes (filsuf Prancis) abad 15 M yang menulis buku Meditations on First Philosophy. Dia memisahkan antara jiwa dan tubuh. Tubuh bekerja seperti mesin, karena itu jika ada kerusakan pada tubuh maka yang diintervensi hanya tubuh itu sendiri, bukan jiwa. Nah, perkara objektif adalah perkara yang berhubungan dengan tubuh bukan jiwa. Yang hari ini kita buat pemisah antara metafisikan dan fisika.

Objektivisme ini selanjutnya melahirkan apa yang kita sebut hari ini sebagai tradisi ilmiah. Objektif menjadi keharusan dari hasil suatu praktik atau penelitian ilmiah. Untuk menjadi objektif, tradisi ilmiah mensyaratkan hal-hal teknis agar suatu pengetahuan dianggap objektif atau ilmiah. Salah satunya yang sangat penting yang kaitannya dengan dunia akademik adalah metodologi. Jadi suatu riset harus memiliki metode tertentu yang bisa mengurangi intervensi subjektif peneliti di dalam melakukan penelitian.

Tentang bagaimana menghasilkan suatu kesimpulan yang dapat disebut ilmiah ini selanjutnya melahirkan suatu perdebatan panjang di dalam filsafat yang disebut filsafat ilmu (philosophy of science). Jadi setelah filsafat melahirkan tradisi ilmiah, maka filsafat membicarakan kembali tradisi ilmiah ini dalam sudut pandang filsofis. Perdebatan yang lahir misalnya antara positivisme logis, falsifikasi, strukturalis, pergeseran paradigma (shift paradigm), dan sosiologi ilmu.

Positivisme logis dikembangkan oleh lingkaran Wina (filsafat analitik) yang menyatakan bahwa yang dianggap ilmiah apabila suatu pengetahuan dapat diverifikasi ke realitas empirisnya. Pandangan ini dibantah oleh falsifikasi yang dikemukakan oleh Karl Popper.[4] Bahwa pengetahuan ilmiah harus bisa dirumuskan falsifikasinya. Apabila falsifikasinya ditemukan maka batal apa yang disebut ilmiah. Jadi ukuran ilmiah bukan verifikasi, karena verifikasi hanya mengkonfirmasi tidak menghasilkan teori.

Bantahan atas positivisme logis juga mengemuka dari kaum strukturalis realis macam Roy Bhaskar biasa dikenal dengan istilah realisme ilmiah.[5] Bahwa tak semua pengetahuan harus terverifikasi karena ada pengetahuan akan kecenderungan sesuatu. Misalnya suatu benda akan hancur apabila dihantam oleh benda lain yang lebih besar dan lebih keras. Untuk mengetahui ini tidak perlu melakukan aktualisasi menghancurkan gelas dengan batu.

Dilanjutkan oleh pergeseran paradigma yang menjadi kritik atas falsifikasi. Bahwa ilmu pengetahuan itu berkembang dalam suatu rentang sejarah yang panjang. Dalam sejarahnya ini ilmu pengetahuan mengalami pergeseran melingkar dari sains normal ke revolusi sains terus kembali ke normal lagi.

Normal sains ialah apabila teori sains sudah bisa diterapkan. Sementara revolusi sains adalah apabila sains normal tidak bisa lagi mengakomodasi anomali-anomali. Berbagai anomali yang ada itu membuat paradigma ilmu akan berganti. Untuk itu, butuh banyak anomali bukan satu anomali seperti pada falsifikasi untuk terjadinya pergeseran paradigma. Pandangan ini dikemukakan oleh Thomas Kuhn.

Kemudian pandangan lainnya adalah sosiologi ilmu. Paham yang dikembangkan oleh Bruno Latour ini mengatakan yang disebut ilmiah itu sebetulnya hanyalah secara sosiologis kesepakatan para ilmuan bukan kesepakatan semua orang atau bukan hasil temuan riset.

Posmo Mengoyak Objektivisme

Menjelang akhir abad ke 19 M, dunia filsafat Barat kembali bergolak dengan mengemukanya era baru yang disebut postmodern. Aliran ini berusaha membantah apa yang telah menjadi pakem dalam tradisi modern. Jika modern berusaha melahirkan narasi-narasi besar dalam dunia ilmu pengetahuan melalui apa yang disebut objektif, maka postmodern hendak mendekonstruksinya bahwa sebetulnya tidak ada yang disebut narasi besar itu.

Objektif itu tidak ada. Era ini diawali oleh suatu penelitian yang dilakukan oleh Francois Lyotard (filsuf Prancis) dalam The Posmodern Condition bahwa apa yang dianggap sebagai pengetahuan utama yang berlaku di semua waktu dan tempat itu tidak ditemukan. Pengetahuan selalu terikat oleh konteks, waktu, dan tempat dimana pengetahuan itu dilahirkan. Jadi temuan ilmiah tidak pernah berlaku secara universal, melainkan tetap partikular dalam suatu kebudayaan tertentu. Pendeknya, setiap kebudayaan memiliki kebenarannya sendiri-sendiri.

Di wilayah filsafat muncul yang disebut postrukturalisme yang terinspirasi oleh kajian di dalam linguistik terutama soal makna. Makna dalam bahasa tidak pernah paten, makna esensial dari sesuatu selalu tertunda dan berbeda. Makna suatu bahasa menjadi tidak terbatas, tidak ada yang absolut. Ketika pengetahuan atau sains berupaya menemukan makna absolut dari suatu fenomena maka sebenarnya tidak pernah terjadi. Tokoh-tokoh penting dari kalangan ini di antaranya Derrida, Michael Foucault, Vattimo, dst.

Jadi, singkatnya bagi posmodernisme yang dianggap sebagai ilmiah itu memiliki banyak bias. Salah satu yang ditekankan, sebagaimana dikatakan Foucault, adalah bias kekuasaan. Bahwa riset-riset ilmiah selalu bergerak sesuai dengan kebutuhan kekuasaan, paling kekuasaan bagi penyokong dana atas terselenggaranya suatu riset ilmiah tersebut.

Karena alasan-alasan itulah, sains belakangan ini mulai mengakomodir hal-hal yang sebelumnya ditabukan di dalam tradisi objektivisme. Bahwa sains perlu bergerak secara universal di dalam mengamati suatu fenomen yang sedang diteliti. Karena apapun alasannya keterlibatan subjek beserta perasaannya dalam suatu riset tidak akan pernah bisa betul-betul dibendung. Karena itu pengetahuan atau sains haruslah holistik yang menimbang berbagai segi, tidak hanya yang empiris dan rasional tetapi juga yang mistik.

Demikian, peta umum hubungan antara perkembangan filsafat Barat dengan tradisi ilmiah. Filsafat akan terus berkembang sejalan dengan perubahan kehidupan manusia itu sendiri, tradisi ilmiah atau bagaimana manusia sampai kepada suatu pengetahuan juga akan terus berkembang, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari didapatkan suatu metode ilmiah yang diturunkan dari perpaduan antara filsafat Barat dan Timur.    


[1] Hassan Hanafi. (1999). Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat. Jakarta: Paramadina

[2] Bidiono Kusumohamidjojo. (2016). Filsafat Yunani Klasik: Relevansi Untuk Abad XXI. Yogyakarta: Jalasutra.

[3] Nicholas Rescher. (1963). Studies in The History of  Arabic Logic. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press

[4] Karya yang diacu, Karl Popper. (1992). The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge

[5] Bisa dibaca karya Roy Bhaskar. (2008). A Realist Theory of Science: With a New Introduction. New York: Routledge 

Post a Comment

0 Comments