Mental Inlander dan Subjek Kolonial

Oleh : Abd Salam, penggiat sosial STF Al Farabi Malang

Sumber: twitter.com
Menyambung lidah para sejarawan untuk selalu melukis perjalanann kehidupan ini, yang penuh dengan korban nyawa dan darah. Setiap sejarah tidak terlepas dengan cost (harga) yang dibayar, pasti ada yang menjadi korban perebutan kekuasaan. Wacana kolonial ahir-ahir ini mengalami fase yang luar biasa perkembangannya, penyadaran terhadap sejarah kelam yang pernah terjadi dan menimpa anak bangsa.

Wacana kolonial yang bermuatan pengetahuan tidaklah selalu polos, namun penuh dengan praktek kekuasaan. Pengetahuan yang dikotak-kotakan ini—pengetahuan Eropa dan Timur— mempunyai peran besar dalam ideologisasi suatu bangsa.

Pengetahuan Timur  yang diedarkan di Eropa itu merupakan penggiring ideologis dari kekuasaan kolonial. Dari situ, kemudian Eropa mengenali Timur sebagai tanah perawan (virgin), tanah tak bertuan, eksotis dan menawan. Pendeknya, timur dianggap kolot dan terbelakang. Sejarah kolonial inilah yang disebarkan ke seantero dunia, baik Timur, Amerika dan Afrika.

Wacana kolonialisme selalu berhubungan dengan ekonomi, kekayaan, dan rasial. Misalnya, Indonesia mengalami penjajahan selama kurang lebih 350 tahun, ditangan Belanda dengan VOC-nya yang memang didesain untuk mengeruk kekayaan nusantara.

Bahkan, praktek kolonial ini sampai masuk ke wilayah yang subtil pada kebudayaan, agama, dan pengetahuan. Cara ini menimbulkan trauma yang mengendap di mental kita, streotipe tentang bangsa yang lemah itu terus tertanam kuat dalam tempurung kepala anak bangsa.


Pada masa penjajahan, penduduk pribumi dibuat hormat kepada tuan asingnya. Cara “hormat” ini seperti hormatnya penduduk ke kiai yang dilakukan secara sukarela. Pola penghormatan ini diadopsi dengan mengganti kiai dengan penjajah. Artinya, ketundukan masyarakat kepada penjaja seperti tunduknya mereka pada kiai.

Dengan pola ini, penjajah tidak lagi ditempatkan sebagai pejabat politik asing yang menindas, bukan pula sebagai penguasa licik penakluk yang “meludahi” kepala kita. Memalui kekuasaan kultural ini komplotan penjajah itu dengan leluasa mengekploitasi sehabis-habisnya apa yang kita miliki, mulai dari sumber alam hingga sumber keperawanan gadis-gadis cantik kita. Dampak lain dari penjinakan kultural ini adalah penduduk pribumi mengganggap mereka bagaikan orang tua dalam suatu keluarga yang harus diikuti “fatwa-fatwanya”. 

Begitulah penjajah Eropa memperlakukan bangsa ini, sehingga Eropa sebagai penjajah dapat menjadikan diri sebagai subjek individual. Artinya, penjajahan itu merupakan tindak individual bukan komunal, sementara yang terjajah ditenggelamkan dalam zona kolektivitas tanpa nama yang siapapun dapat memerasnya. Implikasinya, Subyek penjajah mengatributi pihak lain (yang terjajah) sebagai primitif, kuno, kudisan, kurapan, dan irasional. Sementara dia sendiri sebagai paling beradab, dewasa, dan rasional.  

Dualitas Identitas

Dalam kajian psikologi kolonial, strategi licik Eropa membuat yang terjajah mengalami dualitas, yaitu antara otentisitas budayanya dan otoritatif budaya kolonial yang sudah dipersonifikasi pada dirinya. Dualitas ini dapat saja berakulturasi yang mengakibatkan adanya ambivalesi dan keretakan di antara subjek kolonial dan subjek terjajah itu sendiri. Artinya ada keterlibatan relasi kolonial pada level intersubyektif.

Lacan—tokoh psikoanalisi terkemuka—menyebutnya realitas ini sebagai “fase cermin” yang dibedakan dari “fase yang real”, “fase yang imajiner dan “fase yang simbolik. Pembedaan fase ini adalah upaya untuk menujukkan perkembangan psikis manusia sebagai subjek yang diamati melalu anak.

Penjelasannya begini: fase cermin adalah dimana anak pertama kali melihat dirinya melalui cermin. Fase ini dianggap paling penting dalam formasi subjek si anak, karena anak melihat dirinya pada cermin dalam gambaran yang lebih halus, terkoordinasi dan stabil.

Begitu juga penjajah, ia melihat penduduk pribumi itu dalam gambaran yang halus seperti warna kulit dan seksualitasnya. Bagi subjek penjajah, yang terjajah itu adalah segalanya yang terletak di luar diri. sementara bagi bagi yang terjajah, penjajah adalah definisi tentang apa saja yang di hasratinya, segala yang di hasratkan oleh dirinya.

Sementara, hasrat itu sendiri tertanam di struktur kekuasaan. Penjajah bukan saja yang lain tetapi juga menjadi tuan, baik yang di bayangkan atau yang sebenarnya. Oleh sebab itu, yang terjajah menguatkan diri pada subjek penjajah, sementara penjajah mengkosongkan pada subjek terjajah.
Dalam tahap imajiner, penjajah melakukan cerminan pada yang terjajah, yaitu yang terjajah hanya bisa menguatkan pada identitas penjajah, mereka tidak bisa mengidentitaskan dirinya sendiri sebagai terjajah yang berhak atas kemerdekaan. Mereka diam di ruang relasi kolonialnya.

Dengan demikian, identitas yang terpecah ini tidak bisa memberikan pada ke utuhan terhadap subjek, baik subjek penjajah dan terjajah. Keduanya saling membutuhkan untuk saling mengkokohkan: inter-subjektif.

Maka, kesimpulannya—meminjam konsep J. P. Satre—bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Karena itu kasadaran selalu terkait dengan suatu yang bukan dirinya, ia selalu transenden. Kesadaran disokong oleh sesuatu yang bukan dirinya.


Refrensi:
Baso, Ahmad. Islam Pasca-Kolonial. Tagerang Selatan. Pustaka Afid 2016
Kristiatmo, Thomas. reDefinisi Subyek dalam Kebudayaan. Yogyakarta. Jalasutra

Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta. Bentang 2000
"
"