Berjabat Tangan Dengan Filsafat


Oleh: Herlianto A


Ibarat suatu perjumpaan dengan seseorang untuk pertama kalinya, lazimnya yang dilakukan adalah perkenalan yang diawali dengan “berjabat tangan,” dilanjutkan obrolan santai seputar identi-tas-identitas diri yang paling sederhana dan mudah diingat. Tentang alamat rumah, pekerjaan, hobbi, hal-hal yang difavoritkan, tempat nongkrong, buku-buku bacaan, atau sebatas bertanya: “kamu kenal si A dan si B?,” “Wah itu temanku, orangnya begini-begitu,” dst. Demi-kian kira-kira perjumpaan awal itu.

Namun waktu beserta impresi dalam perjumpaan dapat mengubah jabat tangan menjadi pertemanan atau persahabatan, lebih jauh percintaan, dan lebih intim pernikahan yang kemudian melahir-kan anak demi anak untuk keberlangsungan biologis spesies manusia di muka bumi ini. Begitulah analogi yang saya bayangkan saat menulis buku ini. “Berjabat Tangan Dengan Filsafat” tak lebih dari catatan pribadi akan perjumpaan saya dengan filsafat, atau malah bukan perjumpaan dengan filsafat itu sendiri melainkan dengan tanda-tanda filsafat atau identitas mentah yang membuat mudah diingat saja. Bisa dibilang perjumpaan yang sangat terbatas. Apapun menyebutnya, inilah cerita yang dapat saya bagikan saat bekenalan dengan filsafat.


Filsafat di negeri ini masih cukup mendapat stigma yang kurang baik, mulai dari penolakan yang sifatnya konsekuensional hingga yang praktis-pragmatis. Misalnya, filsafat merusak keimanan karena memupuk keraguan-keraguan dan terlalu mendeterminasi rasio sebagai alat pengetahuan yang sebetulnya terbatas dan rapuh. Karena itu, kembalilah ke aksioma-aksioma dan doktrin-doktrin yang ada agar suasana batin lebih tenang. Acap kali, argumen ini keluar dari orang yang sama sekali belum berjabat tangan dengan filsafat. Pendeknya, filsafat dihadapkan secara face to face dengan agama beserta tradisinya.

Sayangnya, penganjur ini memperkuat argumen penolakan-nya terhadap filsafat juga dengan rasio, artinya praktiknya sebagai-mana filsafat yaitu memaksimalkan rasio demi menghasilkan argu-men bahwa filsafat dan rasio harus ditolak. Cukup aneh memang, karena menggunakan rasio untuk menolak rasio. Posisinya seperti duduk pada dahan pohon sembari menggergaji dahan yang diduki itu. Jelas mencelakakan diri sendiri.

Yang praktis-pragmatis menilai filsafat adalah jurusan yang kurang diterima di era kapitalistik ini, filsafat tak menjadi kriteria dunia kerja. Industri-industri besar membutuhkan ahli komputer, mesin, akutansi, menejemen, dan sejenisnya, tak ada filsafat di situ. Stigma ini disambut lembaga pendidikan dengan orientasi output siap kerja. Inilah barangkali awal yang dimaksud mistisisme komudi-tas di mana segalanya diukur dari nilai kebendaannya, manu-sia dihargai sebagaimana menghargai sebongkah batu, segelondong kayu, dan se-truk pasir. Sisi animate manusia dihilangkan sedemikian rupa dan mengeksploitasi sisi inanimatenya.

Betapa cara pandang ini mengubah hakikat pengetahuan, menjustifikasi ilmu dengan seberapa besar profit yang didapat. Semakin besar profit yang dijanjikan lewat kerja, semakin bernilai pengetahuan suatu aktifitas. Mestinya tak ada korelasi, antara men-cari ilmu dengan mendapatkan  profit. Mencari ilmu, tentu saja, mendapatkan ilmu, dan profit hanya didapat dari kerja. Salah jalur jika ingin mendapat profit tetapi mencari ilmu, mestinya bekerja. Sebagaimana ingin mendapatkan emas tetapi dengan mancing di laut.

Tentu saja masih banyak alasan lain yang membegal tumbuh-nya filsafat di kalangan generasi muda. Berkembangnya teknologi dan pola hidup instan, membuat daya pikir berkurang lantaran lebih suka menikmati hasil ketimbang mengikuti proses yang membutuh-kan energi untuk berpikir, sembari berteriak-teriak “filsafat tak berguna”. Sesekali mengeluhkan kerumitan istilah-istilah dan nalar yang cenderung berputar-berputar dalam filsafat. Begitulah situasi eksternal yang saya alami saat berjumpa dengan filsafat. Upaya untuk menjawab semua persoalan tersebut, justru semakin membuat filsafat menguat posisinya.      

Berangkat dari situasi itu, saya berusaha menuliskan perkena-lan ini se-populer mungkin, walaupun beresiko makna konsepnya tergelincir, tetapi paling tidak mula-mula dapat mengurangi stigma bahwa filsafat itu rumit. Konsep filsafat yang sebetulnya memang rumit dapat diperingan dengan menggunakan eksposisi yang popu-ler, tujuannya tak lain, selain proses pembumikan filsafat dapat dilakukan lebih luas lagi. Filsafat mestinya mempermudah, bukan sebaliknya, apalagi masih sebatas perkenalan.

Terkait Buku
Buku ini mencakup epistemologi, ontologi, etika dan estetika, empat hal yang kerap disebut cabang filsafat. Penjelasan tema-tema ini diambil dari beberapa tokoh yang membahasnya dan dihadirkan secara variatif untuk menarasikan argumen-argumen sang tokoh tentang posisi filsafatnya. Misalnya, epsitemologi yang membicarakan tentang empirisme, rasionalisme, dan upaya perpaduan keduanya. Tokoh yang dibahas John Locke, Berkeley, Hume, Kant, Whitehead dan Baqir Shadr. Masing-masing tokoh ini dihadirkan corak episte-mologinya.

Di ontologi yang membahas tentang hakikat keberadaan, mecakup materialisme, immaterialisme, dan nihilisme. Para pemikir-nya: Plato, Aristoteles, Plotinus, Spinoza, Hegel, dan Nietzsche. Etika membahas tentang nilai dan hakikat tindakan mencakup etika Yunani klasik yang berpangkal pada eudaimonia, deontologi yang melihat kebaikan dari tindakan itu sendiri, teleologi yang mengafirmasi sikap moral dari dampak yang diakibatkan, serta kontrak sosial yang berupaya menuju rumusan bersama akan tindakan yang disepati baik. Tokonya: Aristoteles, Kant, Mill, Bentham, dan Rousseau. Sementara Estetika pembahasannya  meleburkan berbagai panda-ngan, namun mendetail pada apakah estetika itu subjektif atau objektif. Rasa indah disebabkan oleh objeknya atau karena memang pada diri yang mencerap adanya keindahan.  

Tema-tema ini sebetulnya sudah banyak dibahas secara ter-pisah-pisah di beberapa buku. Tujuan dikumpulkannya sekian tema itu, meskipun semacam slide-slide, adalah untuk memberi keutuhan perkenalan dengan filsafat, khususnya yang baru saja berjabat tangan. Adapun pola penyusunan materinya, mengapa dimulai dari epistemologi dan bukan dari tema yang lain? Saya memahami persoalan dasar manusia adalah pengetahuan, sebelum berbicara soal kebera-daan, moralitas, dan hal-hal yang estetis. Tidak berlebihan jika disebut bahwa pencarian keberadaan, moral, dan nilai estetis adalah pencarian yang epistemik.

Perjalanan hidup manusia dimulai dari mengetahui, baru kemudian mengerti keberadaannya bagaimana dan sebagai apa, untuk kemudian bertindak sesuai dengan yang diketahuinya. Pada prinsipnya, tindakan kongkret manusia atau kasarnya kehidupan ideologis yang mengatur hidupnya didasarkan sejauh apa pandangan dunia dan kesadaran diri akan hakikat dirinya. Dengan demikian, buku ini meletakkan antara epistemologi, ontologi, etika dan estetika secara linear, tidak terpisah. 

Kemudian, dibagian akhir menguak perseteruan abadi idealisme dan realisme serta diskursus kontradiksi. Idealisme dan realisme bagai arus sungai yang membelah dua tradisi filsafat. Idealisme meyakini subjek adalah yang paling riil dari segalanya, karenanya segala yang ada dan segala produk pengatahuan dideter-minasi oleh subjek. Sementara realisme meyakini realitas di luar subjeklah yang paling riil, makanya subjek dibentuk oleh yang ekster-nal itu. Perdebatan dua arus tersebut selalu membumbui setiap rumusan filsafat baru yang lahir, sehingga rumusan-rumusan filsa-fat—khususnya pasca Plato dan Aristoteles—dapat disimplifikasi pada dua arus itu.

Adapun kontradiksi yang kemudian disebut dialektika dimaksudkan untuk menelusuri dan menguji suatu metode yang berkembang pesat di abad modern. Meskipun asal-muasalnya dapat ditelusuri hingga ke pemikir Yunani Klasik, tetapi pemikir-pemikir modern macam Hegel, Marx, dan Engels berperan besar mengem-bangkan metode dialektika ini. Persoalan yang hendak diuraikan adalah sejauh mana dialektika ini dapat dipahami secara rasional atau bahkan berupaya ditemukan faktanya di realitas. Kita semua tahu, bahwa dialektika menjadi satu senjata umat manusia khususnya di era kejayaan komunisme. Namun soalnya benarkah kontradiksi itu dapat ditemukan di realitas, jika tidak lalu apa yang dimaksud realitas kontradiktif yang sudah terlanjur diamini, paling tidak oleh Marxis, atau ia hanya sebatas sebagai metode?

Dengan demikian, buku ini telah memulai pertemanan saya dengan filsafat, dan membuka ruang-ruang lain untuk melanjutkan pertemanan itu ke jenjang yang lebih jauh. Bahkan, tak hanya berte-man tetapi juga bersahabat, mencintai dan kemudian intim sehingga dapat lahir anak-anak filsafat yang baru yang lebih kontekstual. Karena itu, alih-alih melakukan finalisasi, justru buku ini membuka jalan ke perjalanan filsafat selanjutnya, membuka kesempatan seluas-seluasnya untuk dikiritik konstruksinya sehingga perkenalan dengan filsafat ini memabwa sesuatu yang baru yang lebih tangguh saat dibawa ke kehidupan sosial yang sesungguhnya.   


"
"